Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan Dalam Bermasyarakat Berbangsa Dan Bernegara
Table of Contents
Daftar bacaan:
Pengertian Paradigma
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan IPTEK
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan POLEKSOSBUD HANKAM
Pancasila sebagai Paradigma Reformasi
Gerakan Reformasi
Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Pancasila sebagai Nilai Perubahan Hukum
Dasar Yuridis Reformasi Hukum
Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Pelaksanaan Hukum
Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik
Susunan Keanggotaan MPR
Susunan Keanggotaan DPR
Reformasi Partai Politik
Pancasila sebagai Reformasi Ekonomi
Aktualisasi Pancasila
Tridharma Perguruan Tinggi
Budaya Akademik
Kampus sebagai Moral force Pengembangan Hukum dan HAM
2. 1 Pengertian Paradigma
Paradigma berasal Menurut KBBI, paradigma berarti seperangkat unsur bahasa yang sebgian bersifat konstan (tetap) dan yang sebagian berubah-ubah, juga bisa diartikan gagasan sistem pemikiran. Paradigma juga dapat diartikan sebagai sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, metode metode, prinsip-prinsip atau cara memecahkan masalah yang di anut oleh masyarakat pada masa tertentu dan sumber asa serta arah dari tujuan suatu perkembangan, perubahan serta proses dalam suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan, reformasi maupun dalam pendidikan. Inti sari pengertian paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga merupakan suatu sumber hukum-hukum, metode, srta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehigga sangat menentukan sifat, ciri atau karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi, dapat disingkat bahwa paradigma artinya kerangka berpikir atau model dalam ilmu pengetahuan.2. 2 Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Pembangunan
dalam bahasa Inggrisnya development dapat
diartikan pertumbuhan, perluasan/ekspansi yang bertalian dengan keadaan yang
harus digali dan yang harus dibangun agar dicapai kemajuan dimasa yang akan
datang. Untuk mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara
bangsa indonesia melaksanakan pembangunan nasional. Hal ini sebagai perwujudan
praksis dalam meningkatkan harkat dan martabatnya.
Pembangunan
tidak hanya bersifat kuantitatif tetapi juga bersifat kualitatif, artinya tidak
hanya mencakup bidang materiil namun juga mencakup bidang spritual. Jadi, yang
dibangun adalah manusia seutuhnya.
Kata pembangunan
mengandung pemahaman akan adanya penalaran dan pandangan yang logis, dinamis,
dan optimis, sehingga di dalam pembangunan terjadi proses perubahan yang terus
menerus menuju kemajuan dan perbaikan ke arah tujuan yang di cita-citakan.
Pembangunan atau
perubahan yang diinginkan oleh bagsa indonesia adalah perubahan atau
pembangunan yang mengarah keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara
kemajuan lahir dan batin, jasmani dan
rohani, dunia dan akhirat.
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa pembangunan adalah kegiatan dan usaha terencana manusia yang
terus menerus dan berkesinambungan untuk mewujudkan hidup yang lebih baik, dan harapan
hari ini lebih baik dari kemarin, dan besok harus lebih baik dari hari ini.
Secara filosofis
hakikat kedudukan pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung
suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita harus mendasarkan
pada hakikat nilai-nilai sila-sila pancasila
Pancasila
sebagai paradigma pembangunan berarti kegiatan atau usaha terencana manusia dan
bangsa Indonesia yang terus-menerus dan berkesinambungan untuk mewujudkan
kehidupan yang lebih baik berdasarkan kerangka berpikir manusia sebagai dasar
negara dan pandangan hidup bangsa.
Pembangunan
berasal dari kerangka berpikir Pancasila bertujuan mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana tertulis di dalam alenia 4 Pembukaan UUD 1945, yaitu:
- Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
- Memajukan kesejahteraan umum.
- Mencerdaskan kehidupan bangsa.
- Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
- Dalam melaksanakan pembangunan berdasarkan paradigma Pancasila tentu membutuhkan modal. Modal pembangunan bangsa Indonesia tertuang kedalam delapan modal dasar pembangunan, yaitu: Kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia.
- Kedudukan geografis yang terletak pada posisi silang dunia.
- Sumber kekayaan alam yang berlimpah (SDA).
- Jumlah penduduk yang sangat besar (SDM).
- Modal rohanih dan mental.
- TNI atau Polri.
- Modal budaya bangsa yang berkembang sepanjang sejarah
- Potensi efektif bangsa.
2. 3 Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Iptek
Dalam upaya manusia mewujudkan
kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabatnya maka manusia mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) pada
hakikatnya merupakan suatu hasil kreatifitas rohani manusia. Unsur jiwa
(rohani) manusia meliputi aspek akal, rasa, dan kehendak. Akal merupakan
potensi rohaniah manusia dalam hubungan dengan intelektualitas, rasa bidang
estetis, dan kehendak dalam bidang moraal (etika).
Atas dasar kreatifitaas akalnya manusia
mengembangkan iptek dalam rangka untuk mengolah kekayaan alam yang disediakan
oleh Tuhan yang Maha Esa. Oleh kareena itu tujuan yang essensial dari iptek
adalah demi kesejahteraan umat manusia, sehingga Iptek pada hakikatnya tidak
bebas nilai namun terikat oleh nilai. Dalam masalah ini Pancasila telah memberikan
dasar nilai-nilai bagi pengembangan Iptek demi kesejahteraan hidup manusia.
Pengembangan Iptek sebagai hasil budaya mausia harus didasarkan pada moral
Ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pancasila yang sila-silanya merupakan
suatu kesatuan yang sistematis haruslah menjadi sistem etika dalam pengembangan
Iptek.
Sila Ketuhanan yang Maha Esa,
mengkomplementasikan ilmu pengetahuan, mencipta, perimbangan antara rasional
dan irrasional, antara akal rasa dan kehendak. Berdasarkan sila ini Iptek tidak
hanya memikirkan apa yang ditemukan, dibuktikan, dan diciptakan tetapi
juga dipertimbangkan maksudnya dan
akibatnya apakah merugikan manusia dan sekitarnya. Pengolahan diimbangi dengan
melestarikan. Sil ini menempatkan manusia di alam semesta bukan sebagai
pusatnya melainkan sebagai bagian yang sistematik dari alam yang diolahnya (T.
Jacob, 1986
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab,
memberikan dasar-dasar moralitas bahwa manuia dalam mengembangkan Iptek haruslah
bersifat beadab. Iptek adalah sebagai hasil budaya manusia yang beradab dan
bermoral. Oleh karena itu pengembangan Iptek harus didasarkan pada hakikiat
tujuan demi kesejahteraan umat manusia. Iptek bukan untuk kesombongan,
kecongkakan dan keserakahan umat manusia namun harus di abdikan demi
peningkatan harkat dan martabat manusia
Sila Persatuan Indonesia,
mengkomplementasikan universalia dan internasionalisme (kemanusiaan) dalam
sila-sila yang lain. Pengembangan Iptek diarahkan demii kesejahteraan umat
manusia termasuk di dalamnya
kesejahteraan bangsa Indonesia. Pengembangan
Iptek hendaknya dapat mengembangkan rasa
nasionalisme, kebesaran bangsa serta keluhuran bangsa sebagai bagian dari umat
manusia di dunia
Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mendasari pengembangan Iptek
secara demokratis. Artinya setiap ilmuan haruslah memiliki kebebassan untuk
mengembangkan Iptek. Selain itu dalam pengembangan Iptek setiap ilmuan juga
harus menghormati dan menghargai
kebebasan orang lain dan harus memiliki sikap yang terbuka artinya terbuka
untuk dikritik, dikaji ulang maupun dibandingkan dengan penemuan teori lainnya.
Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Mengkomplementasikan pengembangan Iptek haruslah menjaga
keseimbangan keadilan dalam hubungannya
dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lain,
manusia dengan masyarakat bangsa dan negara serta manusia dengan alam
lingkungannya (T. Jacob, 1986)
Kesimpulannya bahwa pada hakikatnya
sila-sila Pancasila harus merupakan sumber nilai, kerangka pikir serta basis
moralitas bagi pengembangan Iptek.
2. 4 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan POLEKSOSBUD HANKAM
Pembangunan pada hakikatnya
merupakan suatu realisasi praksis untuk mencapai tujuan seluruh warga harus
mendasarkan pada hakikat manusia sebagai subjek pelaksana sekaligus tujuan
pembangunan. Hakikat manusia adalah 'Monopluralis'
artinya meliputi berbagai unsur yaitu rohani-jasmani, individu-makhluk sosial,
serta manusia sebagai pribadi-makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu
hakikat manusia merupakan sumber nilai bagi pengembangan POLEKSOSBUD HANKAM.
Hal inilah yang sering diungkapkan dalam pelaksanaan pembangunan hakikatnya
membangun manusia secara lengkap, secara utuh meliputi seluruh unsur hakikat
manusia monopluralis, atau dengan lain perkataan membangun martabat manusia.
a. Pancasila sebagai Paradigma Pegembangan Bidang Politik
Pembangunan dan pengembangan
bidang politik harus mendasarkan pada dasar ontologis manusia, ini didasarkan
pasa kenyataan objektif bahwa manusia sebagai subjek negara. Oleh karena itu
kehidupan politik dalam negara harus benar-benar untuk merealisasikan tujuan demi
harkat dan martabat manusia.
Dalam sistem politik negara harus mendasarkan
pada:
1) Tuntutan hak dasar kemanusiaan.
Sebagai perwujudan hak atas martabat kemanusian sehingga sistem
politik negara harus mampu menciptakan sistem yang menjamin atas hak-hak
tersebut. Dalam istilah ilmu hukum dan kenegaraan disebut hak asasi manusia.
2) Kekuasaan yang bersumber dari rakyat, sebagai penjelmaan hakikat manusia sebagai
individu-makhluk social.
Kekuasaan negara harus mendasarkan pada asal mula dari rakyat untuk
rakyat. Maka rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu, kekuasaan
negara harus berdasarkan kekuasaan rakyat bukan kekuasaan perseorangan atau
kelompok.
a. Dasar-dasar moralitas politik
negara yang tertuang dalam sila-sila Pancasila.
Dalam
sila-sila Pancasila tersusun atas urutan yang sistematis. Dalam politik negara
harus mendasarkan pada kerakyatan (sila IV), adapun pengembangan dan
aktualisasi politik berturut-turut moral Ketuhanan (sila I), moral kemanusiaan
(sila II), moral persatuan, yaitu ikatan moralitas sebagai suatu bangsa (sila
III), serta demi tercapainnya keadilan dalam hidup bersama (sila V).
Oleh karena itu dalam politik
negara termasuk para elit politik dan penyelenggara negara untuk memegang budi
pekerti kemanusiaan serta memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Pengembangan politik negara terutama
dalam proses reformasi dewasa ini harus mendasarkan pada moralitas sebagaimana
tertuang dalam sila-sila Pancasila, sehingga praktek-praktek politik yang
menghalalkan segala cara dengan memfitnah, memprovokasi, menghasut rakyat yang
tidak berdosa untuk dapat segera diakhir.
b. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi
Dalam dunia ilmu ekonomi
boleh dikatakan jarang ditemukan pakar ekonomi yang mendasarkan pemikiran
pengembangan ekonomi atas dasar moralitas kemanusiaan dan Ketuhanan. Sehingga lazimnya
pengembangan ekonomi mengarah pada persaingan bebas, dan akhirnya yang kuatlah
yang menang. Hal ini sebagai implikasi dari perkembangan ilmu ekonomi pada
akhir abad ke-18 menumbuhkan ekonomi kapitalis. Atas dasar kenyataan objektif
inilah maka di Eropa pada awal abad ke-19 muncullah pemikiran sebagai reaksi
atas perkembangan ekonomi tersebut yaitu sosialisme komunisme yang
memperjuangkan nasib kaum proletar yang ditindas oleh kaum kapitalis. Oleh
karena itu kiranya menjadi sangat penting bahkan mendesak untuk dikembangkan
sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas humanistik, ekonomi yang
berkemanusiaan.
Atas dasar kenyataan tersebut
maka Mubyarto kemudian mengembangkan ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi yang
humanistik yang mendasarkan pada tujuan demi kesejahteraan rakyat secara luas.
Pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan saja melainkan demi
kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh bangsa. Maka sistem ekonomi Indonesia
mendasarkan atas kekeluargaan seluruh bangsa.
Pengembangan ekonomi tidak
bisa dpisahkan dengan nilai-nilai moral kemanusiaan (Mubyarto, 1999). Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa tujuan ekonomi itu sendiri adalah untuk
memenuhi kebutuhan manusia, agar manusia menjadi lebih sejahtera. Oleh karena
itu ekonomi harus mendasarkan pada kemanusiaan yaitu demi kesejahteraan
kemanusiaan, ekonomi untuk kesejahteraan manusia sehingga kita harus
menghindarkan diri dari pengembangan ekonomi yang hanya mendasarkan pada
persaingan bebas, monopoli dan lainnya yang menimbulkan penderitaan pada
manusia, menimbulkan penindasan atas manusia satu dengan lain.
c. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Budaya
Dalam proses reformasi dewasa
ini sering kita saksikan gejolak masyarakat yang jauh dari nilai-nilai
kemanusiaan yang beradab. Tidak mengherankan jika di berbagai wilayah Indonesia
saat ini terjadi berbagai macam gejolak yang sangat memprihatinkan antara lain
amuk massa yag cenderung anarkis, bentrok antara kelompok masyarakat satu
dengan lainnya yang muaranya adalah pada masalah politik.
Perbenturan kepentingan
politik demi kekuasaan sehingga masyarakat sebagai elemen infrastruktur politik
yang melakukan aksi sebagai akibat akumulasi persoalan-persoalan politik.
Anehnya suatu aksi yang tidak beradab, tidak manusiawi, dam tidak human
tersebut senantiasa mendapat afirmasi politis dari kalangan elit sebagai
tokohnya. Demikian pula meningkatnya fanatisme etnis di berbagai daerah
mengakibatkan lumpuhnya keberadaban masyarakat. Ini menjadi tugas yang maha
berat bagi bangsa Indonesia pada pasca reformasi dewasa ini untuk mengembangkan
aspek sosial budaya dengan berdasarkan nilai-nilai Pancasila, yang secara lebih
terinci berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, nilai Ketuhanan, serta nilai
keberadaban.
Dalam prinsip etika Pancasila
mendasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk yang berbudaya. Terdapat rumusan dalam sila kedua Pancasila yaitu
"Kemanusiaan yang adil dan beradab".
Dalam rangka pengembangan sosial budaya, Pancasila merupakan sumber normatif
bagi peningkatan humanisasi dalam bidang sosial budaya. Sebagai kerangka
kesadaran Pancasila dapat merupakan dorongan untuk (1) universalisasi, yaitu
melepaskan simbol-simbol dari keterkaitan struktur, dan (2) transendentalisasi,
yaitu meningkatnya derajat kemerdekaan, manusia, dan kebebasan spiritual
(Koentowijoyo, 1986). Dengan demikian maka proses humanisasi universal akan
dehumanisasi serta aktualisasi nilai hanya demi kepentingan kelompok sosial
tertentu sehingga menciptakan sistem sosial budaya yang beradab.
d. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hankam
Negara pada hakikatnya adalah
merupakan suatu masyarakat hukum. Demi tegaknya hak-hak warga negara maka
diperlukan peraturan perundang-undangan negara, baik dalam rangka mengatur ketertiban
warga maupun dalam rangka melindungi hak-hak warganya. Oleh karena itu negara
bertujuan melindungi segenap wilayah negara dan bangsanya. Atas dasar demikian
maka keamanan merupakan syarat mutlak tercapainya kesejahteraan warga negara.
Adapun demi tegaknya integritas seluruh masyarakat mengara diperlukan suatu
pertahan negara. Untuk itu diperlukan aparat keamanan negara dan aparat penegak
hukum Negara.
Oleh karena Pancasila sebagai
dasar dan mendasarkan diri pada hakikat nilai kemanusiaan monopluralis maka
pertahan dan keamanan negara harus dikembalikan pada tercapainya harkat dan
martabat manusia sebagai pendukung pokok negara. Dasar-dasar kemanusiaan yang
beradab merupakan basis moralitas pertahanan dan keamanan negara. Dengan
demikian pertahan dan keamanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi
terjaminnya harkat dan martabat manusia, terutama secara rinci terjaminnya
hak-hak asasi manusia. Pertahan dan keamanan bukanlah untuk kekuasaan sebab
kalau demikian sudah dapat dipastikan akan melanggar hak asasi manusia.
Demikian pula pertahan dan
keamanan negara bukanlah hanya untuk sekelompok warga ataupun kelompok politik
tertentu, sehingga berakibat negara menjadi totaliter dan otoriter. Oleh karena
itu pertahan dan keamanan negara harus dikembangkan berdasarkan berdasarkan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pertahanan dan keamanan negara
harus mendasarkan pada tujuan demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia
sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa (sila I dan II). Pertahanan dan keamanan negara
haruslah mendasarkan pada tujuan demi kepentingan warga dalam seluruh warga
sebagai warga negara (sila III). Pertahanan dan keamanan harus mampu menjamin
hak-hak dasar, persamaan derajat, serta kebebasan kemanusiaan (sila IV), dan
akhirnya pertahanan dan keamanan haruslah diperuntukkan demi terwujudnya
keadilan dalam hidup bermasyarakat (terwujudnya suatu keadilan sosial) agar
benar-benar negara meletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai suatu negara
hukum dan bukannya suatu negara yang berdasarkan atas kekuasaan.
e. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Kehidupan Beragama
Pada proses reformasi dewasa
ini di beberapa wilayah negara Indonesia terjadi konflik sosial yang bersumber
pada masalah SARA, terutama bersumber pada masalah agama. Hal ini menunjukkan
kemunduran bangsa Indonesia ke arah kehidupan beragama yang tidak
berkemanusiaan dan menunjukkan betapa semakin melemahnya toleransi kehidupan
beragama yang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pancasila telah memberikan
dasar-dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa Indonesia untuk hidup
secara damai dalam kehidupan beragama di negara Indonesia tercinta ini. Manusia
adalah sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, oleh karena itu manusia wajib untuk
beribadah kepada Tuhan yang Maha Esa dalam wilayah negara di mana mereka hidup.
Namun demikian Tuhan menghendaki untuk hidup saling menghormati, karena Tuhan
menciptakan umat manusia dari laki-laki dan perempuan ini yang kemudian
berbangsa-bangsa, bergolong-golong, berkelompok-kelompok baik sosial, politik,
budaya, maupun etnis tidak lain untuk saling hidup damai yang berkemanusiaan.
Negara mengaskan dalam Pokok
Pikiran Ke IV bahwa "Negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa, atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab".
Hal ini berarti bahwa kehidupan dalam negara mendasarkan pada nilai-nilai
ketuhanan. Setiap agama memiliki dasar-dasar ajaran sesuai dengan keyakinan
masing-masing maka dalam pergaulan hidup negara kehidupan beragama hubungan
antarpemeluk agama didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan yang beradab hal ini
berdasarkan pada nilai bahwa semua pemeluk agama adalah sebagai bagian dari
umat manusia di dunia.
Oleh karena itu kehidupan
beragama dalam negara Indonesia dewasa ini harus dikembangkan ke arah
terciptanya kehidupan bersama yang penuh toleransi, saling menghargai
berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab.
2.5 Pancasila sebagai Paradigma Reformasi
Bangsa indonesia
ingin mengadakan suatu perubahan, yaitu menata kembali kehidupan berbangsa dan
bernegara demi terwujudnya masyarakat madani yang sejahtera,bermartabat,
menghargai hak asasi manusia,dan masyarakat yang demokratis yang bermoral
religius serta masyarakat yang bermoral kemanusiaan dan beradab.
Berbagai gerakan
muncul disertai dengan akibat tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan
banyak menelan banyak korban jiwa dari anak - anak bangsa sebagai rakyat kecil
yang tidak berdosa dan mendambakan perdamaian ketentraman serta kesejahteraan.
Tragedi yang sangat memilukan itu antara lain peristiwa Amuk Masa di Jakarta, Tangerang, Solo, Jawa Timur, Kalimantan, serta daerah-daerah
lainnya. Bahkan tragedi pembersihan etnis ala Rezim Serbia di Balkan terjadi di
berbagai daerah antara lain di Dili, Kupang, Ambon, Kalimantan Barat, serta beberapa daerah lainnya.
Rakyat benar-benar
menjerit bahkan banyak yang kondisi kehidupan sehari-harinya sangat
memprihatinkan karena kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
Reformasi adalah
menata kehidupan bangsa dan negara dalam suatu sistem negara di bawah nilai-nilai
pancasila, bukan menghancurkan dan membubarkan bangsa dan negara Indonesia.
Bahkan pada
hakikatnya reformasi itu sendiri adalah mengembalikan tatanan kenegaraan ke
arah sumber nilai yang merupakan platform
kehidupan bersama bangsa indonesia. Oleh karena itu proses reformasi walaupun
dalam lingkup pengertian reformasi total
harus memiliki platform dan sumber nilai yang jelas yang merupakan arah,
tujuan,serta cita - cita yaitu nilai - nilai yang terkandung dalam pancasila.
Nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan adalah ada
secara objektif dan melekat pada bangsa Indonesia yang merupakan pandangan
dalam kehidupan bangsa sehari-hari. Oleh karena itu bilamana bangsa indonesia
meletakkan sumber nilai, dasar filosofi serta sumber norma kepada nilai - nilai
tersebut bukan lah suatu keputusan yang bersifat politis saja melainkan suatu
keharusan yang bersumber dari kenyataan hidup pada bangsa indonesia sendiri
sehingga dengan lain perkataan bersumber pada kenyataan objektif pada bangsa indonesia
sendiri.
Reformasi dengan
melakukan perubahan dalam berbagai bidang yang sering diteriakan dengan jargon reformasi total tidak mungkin melakukan
perubahan terhadap sumbernya itu sendiri. Reformasi itu harus memili tujuan, dasar, cita-cita serta platform yang jelas dan
bagi bangsa indonesia Nilai-nilai pancasila
itulah yang merupakan paradigma Reformasi Total tersebut.
2.6 Gerakan Reformasi
Pelaksanaan GBHN 1998 pada PJP II Pelita ke tujuh ini bangsa
indonesia menghadapi bencana hebat, yaitu dampak krisis ekonomi Asia terutama
Asia tenggara sehingga menyebabkan stabilitas politik menjadi goyah.
Terlebih lagi merajalelanya praktel Korupsi, Kolusi dan Nepotisme pada hampir seluruh instansi serta
lembaga pemerintahan.
Sistem politik dikembangkan ke arai sistem Birokratik Otoritarian dan suatu sistem Korporatik (Nasikum, 1998: 5). Sistem ini ditandai dengan
konsentrasi kekuasaan dan partisipasi di dalam pembuatan keputusan - keputusan
nasional yang berada hampir seluruhnya pada tangan penguasa negara, kelompok
militer, kelompok cerdik cendikiawan dan kelompok wiraswastawan oligopilstik
dan bekerjasama dengan masyarakat bisnis internasional. Keadaan yang demikian
membawa ekonomi rakyat menjadi tidak tersentuh dan semakin parah.
Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi
nasional, maka timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh
mahasiswa, cendikiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang
menurut adanya 'Reformasi' di segala
bidang politik, ekonomi, dan hokum.
Awal keberhasilan gerakan Reformasi tersebut ditandai dengan
mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian disusul
dengan dilantik nya Wakil Presiden Prof.Dr.B.J. Habibie menggantikan kedudukan
Presiden. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang
akan mengantarkan rakyat indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh,
terutama pengubahan 5 paket UU.
Dengan demikian reformasi harus diikuti juga dengan reformasi
hukum bersama aparat penegaknya serta reformasi pada berbagai instansi
pemerintahan. Yang lebih mendasar lagi reformasi dilakukan pada kelembagaan
tertinggi dan tertinggi negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui pemilu secepatnya
dan diawali dengan pengubahan:
- UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR, dan DPRD (UU No.16/1969 jis. UU No. 5/1975 dan UU No. 2/1985).
- UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975, jo.UU No.3/1985).
- UU tentang Pemilihan Umum (UU no. 16/1969 jis UU No. 4/1975, UU No. 2/1980, dan UU No. 1/1985).
Reformasi
terhadap UU Politik tersebut di atas harus benar-benar dapat mewujudkan iklim
politik yang demokratis sesuai dengan kehendak Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa
kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Mardjono, 1998 : 57).
a. Gerakan Reformasi dan Gerakan Ideologi Pancasila.
Makna
serta pengertian “Reformasi” saat dewasa ini banyak disalahartikan sehingga
gerakan masyarakat yang melakukan perubahan yang mengatasnamakan gerakan
reformasi juga tidak sesuai dengan pengertian reformasi itu sendiri. Hal ini
terbukti dengan maraknya gerakan masyarakat dengan mengatasnamakan gerakan
reformasi, melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan makna reformasi itu
sendiri, misalnya pemaksaan kehendak dengan menduduki kantor suatu instansi
atau lembaga baik negeri maupun swata, memaksa untuk mengganti pejabat dalam
suatu instansi, melakukan pengrusakan bahkan yang paling memprihatinkan adalah
melakukan pengarahan massa dengan merusak dan membakar toko-toko, pusat-pusat
kegiatan ekonomi, kantor instansi pemerintah, fasilitas umum, kantor pos,
kantor bank disertai dengan penjarahan dan penganiayaan. Oleh karena itu makna
reformasi itu harus benar-benar diletakkan dalam pengertian yang sebenarnya
sehingga agenda proses reformasi itu benar-benar sesuai tujuannya.
Makna
‘Reformasi’
secara etimologis berasal dari kata ‘reformation’ dengan akar kata ‘reform’
yang artinya “make or become better by
removing or putting right what is bad or wrong”(Oxford Advanced Learner’s Diftionary Current English, 1980, dalam
Wibisono, 1998 : 1). Secara harfiah reformasi memiliki arti suatu gerakan untuk
memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk
dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal
yang dicita-citakan rakyat (Riswanda, 1998).
Oleh
karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai
berikut:
- Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan. Misalnya pada masa orde baru, asas kekeluargaan menjadi nepotisme, kolusi, dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat UUD 1945.
- Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan ideologis) tertentu, dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Jadi, reformasi pada prinsipnya suatu gerakan untuk mengembalikan kepada dasar nilai-nilai sebagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Tanpa landasan ideologi yang jelas maka gerakan reformasi akan mengarah kepada anarkisme, disintergrasi bangsa dan akhirnya jatuh pada suatu kehancuran bangsa dan negara Indonesia, sebagaimana yang telah terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia.
- Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada suatu kerangka struktural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformasi. Reformasi pada prinsipnya gerakan untuk mengadakan suatu perubahan untuk mengembalikan pada suatu tatanan struktural yang ada karena adanya suatu penyimpangan. Maka reformasi akan mengembalikan pada dasar serta sistem negara demokrasi, bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat (2). Reformasi harus mengembalikan dan melakukan perubahan ke arah sistem negara hukum dalam arti yangsebenarnya sebagaimana yang terkandung dalam penjelasan UUD 1945, yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, peradilan yang bebas dari penguasa, serta legalitas dalam arti hukum. Oleh karena itu reformasi sendiri harus berdasarkan pada kerangka hukum yang jelas. Selain itu reformasi harus diarahkan pada suatu perubahan ke arah transparansi dalam setiap kebijaaksanaan dalam penyelenggaraan negara karena hal itu sebagai manifestasi bahwa rakyatlah sebagai asal mula kekuasaan negara dan untuk rakyatlah segala aspek kegiatan Negara.
- Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan kondisi serta keadaan yang lebih baik. Perubahan yang dilakukan dalam reforamsi harus mengarah pada suatu kondisi kehidupan rakyat yang lebih baik dalam segala aspek antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan keagamaan. Dengan kata lain, reformasi harus dilakukan ke arah peningkatan harkat dan martabat rakyat Indonesia sebagai manusia.
- Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etika sebagai manusia yang Berketuhanan Yang Maha Esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa
b. Pancasila sebagai Dasar Cita-cita Reformasi
Pancasila
sebagai dasar filasafat negara Indonesia, sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia dalam perjalanan sejarah, nampaknya tidak diletakkan dalam kedudukan
dan fungsi sebenarnya. Pada masa orde lama pelaksanaan dalam negara secara
jelas menyimpang bahkan bertentangan misalnya, Manipol Usdek dan Nasakom yang
bertentangan dengan Pancasila. Presiden seumur hidup serta praktek-praktek
kekuasaan diktator.
Masa Orba Pancasila digunakan sebagai alat legitimasi
politik oleh penguasa sehingga kedudukan Pancasila sebagai sumber nilai
dikaburkan dengan praktek kebijaksanaan pelaksana penguasa negara. Misalnya
setiap kebijaksanaan penguasa negara senantiasa berlindung di balik ideologi
Pancasila, sehingga setiap tindakan dan kebijaksanaan penguasa negara senatiasa dilegitimasi oleh ideologi
Pancasila.Sehingga konsekuensinya setiap warga negara yang tidak mendukung
kebijaksanaan tersebut dianggap bertentangan dengan Pancasila. Asas kekeluargaan sebagaiman terkandung dalam
nilai Pancasila disalahgunakan menjadi praktek nepotisme, sehingga merajalela
kolusi dan korupsi.
Oleh
karena itulah maka gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam kerangka
perspektif Pancasila sebagai landasan cita-cita dan ideologi, (Hamengkubuwono
X, 1998 : 8) sebab tanpa adanya suatu dasar nilai yang jelas maka suatu
reformasi akan mengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme,brutalisme pada
akhirnya menuju pada kehancuran bangsa dan negara Indonesia. Maka reformasi
dalam perspektif Pancasila pada hakikatnya harus berdasarkan pada nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Adapun secara rinci sebagai berikut:
- Reformasi yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti bahwa suatu gerakan ke arah perubahan harus mengarah pada suatu kondisi yang lebih baik bagi kehidupan manusia sebagai makhluk Tuhan. Karena hakikatnya manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa adalah bersifat dinamis, sehingga selalu melakukan suatu perubahan ke arah suatu kehidupan yang lebih baik. Maka reformasi harus berlandaskan moral religius dan hasil reformasi harus meningkatkan kehidupan keagamaan. Oleh karena itu reformasi yang dijiwai nilai-nilai religius tidak membenarkan pengrusakan, penganiayaan, merugikan orang lain serta bentuk-bentuk kekerasan lainnya.
- Reformasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berarati bahwa reformasi harus dilakukan dengan dasar-dasar nilai-nilai martabat manusia yang beradab. Oleh karena itu reformasi harus dilandasi oleh moral kemanuasiaan yang luhur, yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan bahkan reformasi menargetkan ke arah penataan kembali suatu kehidupan negara yang menghargai harkat dan martabat manusia, yang secara kongkrit menghargai hak-hak asasi manusia. Reformasi menentang segala praktek eksploitasi, penindasan oleh manusia terhadap manusia lain, oleh golongan satu terhadap golongan lain, bahkan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Untuk bangsa yang majemuk seperti bangsa Indonesia maka semangat reformasi yang berdasar kemanusiaan menentang praktek-praktek yang mengarah pada diskriminasi dan dominasi sosial, baik alasan perbedaan suku, ras, asal-usul maupun agama. Reformasi yang dijiwai nilai-nilai kemanusiaan tidak membenarkan perilaku yang biadap seperti membakar, menganiaya, menjarah, memperkosa, dan bentuk-bentuk kebrutalan lainnya yang mengarah pada praktek anrkisme. Sekaligus reformasi yang berkemanusiaan harus memberantas sampai tuntas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang telah sedemikian mengakar pada kehidupan kenegaraan pemerintah Orba (lihat Hamengkubuwono X, 1998 : 8).
- Semangat reformasi harus berdasarkan pada nilai persatuan sehingga reformasi harus menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia. Reformasi harus menghindarkan diri dari praktek-praktek yang mengarah pada disintegrasi bangsa, upaya sparatisme baik atas dasar kedaerahan, suku maupun agama. Reformasi memiliki makna menata kembali kehidupan bangsa dalam bernegara, sehingga reformasi justru harus mengarah pada lebih kuatnya persatuan dan kesatuan bangsa. Demikian juga reformasi harus senantiasa dijiwai asas kebersamaan sebagai suatu bangsa Indonesia.
- Semangat dan jiwa reformasi harus berakar pada asas kerakyatan sebab justru permasalahan dasar gerakan reformasi adalah pada prinsip kerakyatan. Penataan kembali secara menyeluruh dalam segala aspek pelaksanaan pemerintahan negara harus meletakkan kerakyatan sebagai paradigmanya. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan negara dan sekaligus sebagai tujuan kekuasaan negara, dalam pengertian inilah maka reformasi harus mengembalikan pada tatanan pemerintahan negara yang benar-benar bersifat demokratis, artinya rakyatlah sebagai pemegang kekuasaan negara. Maka semangat reformasi menentang segala bentuk penyimpangan demokratis seperti kediktatoran baik secara langsung maupun tidak langsung, feodalisme maupun totaliterianisme. Asas kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan menghendaki terwujudnya masyarakat demokratis. Kecenderungan munculnya diktator mayoritas melalui aksi massa, harus diarahkan pada asas kebersamaan hidup rakyat agar tidak mengarah pada anarkisme. Oleh karena itu penataan kembali mekanisme demokrasi seperti pemilihan anggota DPR, MPR, pelaksanaan Pemilu beserta perangkat perundang-undangan-nya pada hakikatnya untuk mengembalikan tatanan negara pada asas demokrasi yang bersumber pada kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila keempat Pancasila.
- Visi dasar reformasi harus jelas, yaitu demi terwujudnya Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan penataan kembali dalam berbagai bidang kehidupan negara harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu terwujudnya tujuan bersama sebagaimana negara hukum yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Oleh karena itu hendaklah disadari bahwa gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan penataan kembali, pada hakikatnya bukan hanya bertujuan demi perubahan itu sendiri, namun perubahan dan penataan demi kehidupan bersama yang berkeadilan. Perlindungan terhadap hak asasi, peradilan yang benar-benar bebas dari kekuasaan, serta legalitas dalam arti hukum harus benar-benar dapat terwujudkan. Sehingga rakyat benar-benar menikmati hak serta kewajibannya berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Oleh karena itu reformasi hukum baik yang menyangkut materi hukum terutama aparat pelaksana dan penegak hukum adalah merupakan target reformasi yang mendesak untuk terciptanya suatu keadilan dalam kehidupan rakyat.
Nilai-nilai Pancasila adalah ada pada filsafat hidup bangsa Indonesia, dan sebagai bangsa maka akan senantiasa memiliki perkembangan aspirasi sesuai dengan tuntunan zaman. Oleh karena itu Pancasila sebagai sumber nilai memiiiki sifat ‘reformatif’ artinya memiliki aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu menyesuaikan dengan dinamika aspirasi rakyat, dalam mengantisipasi perkembangan zaman, yaitu dengan jalan menata kembali kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat, akan tetapi nilai-nilai esensialnya bersifat tetap yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan.
2.7 Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Dalam era reformasi akhir-akhir ini
seruan dan tuntutan rakyat terhadap pembaharuan hukum sudah merupakan suatu
keharusan karena proses reformasi yang melakukan penataan kembali tidak mungkin
dilakukan tanpa melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan
perundang-undangan. Agenda yang lebih kongkrit yang diperjuangkan oleh para
reformis yang paling mendesak adalah reformasi bidang hukum. Hal ini
berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat
rutuhnya kekuasaan Orde Baru, salah satu subsistem yang mengalami kerusakan
parah selama orde baru adalah bidang hukun. Produk hukum baik materi maupun
penegakannya dirasakn semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan
serta keadilan. Subsistem hukum nampaknya tidak mampu menjadi pelindung bagi
kepentingan masyarakat dan yang berlaku hanya bersifat imperative bagi
penyelenggara pemerintahan.
Oleh karena kerusakan atas subsistem
hukum yang sangat menentukan dalam berbagai bidang misalnya politik, ekonomi
dan bidang lainnya maka banga Indonesia ingin melakukan suatu reformasi, menata
kembali subsistem yang mengalami kerusakan tersebut. Namun demikian hendaklah
dipahami bahwa dalam melakukan reformasi tidak mungki dilakukan secara
spekulatif saja melainkan harus memiliki dasar, landasan serta sumber nilai
yang jelas, dan dalam masalah ini nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila
yang merupakan dasar cita-cita reformasi.
2.8 Pancasila sebagai Nilai Perubahan Hukum
Dalam
Negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang merupakan sumber
hukum positif yang dalam ilmu hukum tata Negara disebut staatsfundamentalnorm. Dalam Negara Indonesia staatsfundamentalnorm tersebu
intinya tidak lain adalah Pancasila. Maka pancasila merupakan cita-cita hukum,
kerangka berfikir, sumbe nilai serta
sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif di Indonesia. Dalam
pengertian inilah maka pancasila berfungsi sebagai paradigm hukum terutama
dalam kaitannya dengan berbagaimacam upaya perubahan hukum, atau pancasila
harus meupakan paradigm dalam suatu pembaharuan hukum. Materi-materi dalam
suatu produk hukum atau perubahan hukum dapat senantiasa berubah dan diubah
sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan Iptek serta perkembangan
aspirasi masyarakat namun sumber nilai ( yaitu nilai-nilai pancasila ) harus
senantiasa tetap. Hal ini mengingat kenyataan bahwa hukum itu tidak berada pada
suatu yang vacuum.
Oleh karena itu agar hukum berfungsi
sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat maka hukum harus senantiasa diperbaharui
agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat yang
dilayaninya dan dalam pembaharuan hukum yang terus-menerus tersebut pancasila
harus tetap sebagai kerangka berpikir, sumber norma atau sumber nilai-nilainya.
Sebagai paradigma dalam pembaharuan tatanan hukum
pancasila itu dapat dipandang sebagai cita-cita hukum yang berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm dalam Negara
Indonesia. Sebagai cita-cita hukum pancasla dapat memenuhi fungsi konstitutif
maupun fungsi regulatif. Dengan fungsi regulatifnya pancasila menentukan dasar
suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga
tanpa dasar yang diberikan oleh pancasila maka ukum akan kehilangan arti dan
maknanya sebagai hukum itu sendiri. Demikian juga dengan fungsi regulatifnya pancasila
menentukan apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang adil ataukah
tidak adil. Sebagai staatsfundamentalnorm pancasila merupakan pangkal tolak
derivasi (sumber penjabaran) dari tertib hukum di Indonesia termasuk UUD 1945.
Dalam pengertian inilah menurut istilah ilmu hukum disebut sebagai sumber dari
segla peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Sumber
hukum meliputi dua macam pengertian, yaitu:
- sumber formal hokum, sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan permen, perda.
- sumber material hokum, suatu sumber hukum yang menentukan materi atau isi suatu hokum.
Dalam susunan yang hierarkhis ini pancasila menjamin keserasian atau tiadanya kontradiksi antara berbagai peraturan perundang-undangan baik secara vertikal maupun horisontal. Ini mengandung konsekuensi jikalau terjadi ketidakserasian atau pertentangan suatu norma hukum dangan norma hukum lainnya yang secara hierarkhis lebih tinggi apalagi dengan pancasila sebagai sumbernya.
Selain sumber nilai yang terkandung dalam pancasila reformasi dan pembaharuan hukum juga hrus berumber pada kenyataan empiris yang ada dalam wujud aspirasi-aspirasi yang dikehendakinya. Menurut Johan Galtung suatu prubahan serta pengembangan secara ilmiyah harus mempertimbangkan tiga unsur:
- nilai
- teori (noma)
- fakta atau realitas empiris.
Selama hal tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai hakiki yan terkandung dalam sila-sila pacasila. Dengan demikian maka upaya untuk reformasi hukum atau benar-benar mampu mngantarkan manusia ketingkat harkat dan martabat yang lebih tinggi sbagai makhluk yang berbudaya dan beradap.
2.9 Dasar Yuridis Reformasi Hukum
Dalam
reformsi hukum dewasa ini bermunculan bermunculan bebrbagai pendapat yang pada
taraf tertentu nampak hanya luapan emosional dan meninggalkan aspek
konsepsional. Jikalau
halnya demikian maka kita kembali menjdi bangsa yang tidak beradab,bangsa
yang tidak berbudaya masyakat yang tanpa
hukum yang menurut hobbes disebut ‘’homo
homini lupus’’ manusia akan
menjadi serigala dan hukum yang berlaku adalah hukum
rimba oleh karena itu reformasi hukum harus konsepsional dan
konstitusional,sehingga reformasi hukum
memiliki landasn dan tujuan yang jelas.
Dalam
upaya reformasi hukum dewasa ini telah
banyak dilontarkan Berbagai macam pendapat tentang aspek apa saja yang dapat
dilakukan dalam perubahan hukum di indonesia, bahkan telah banyak usulan untuk
perlunya amendemen atau kalau
perlu perubahan secara terhadap
pasal-pasal UUD 1945. Namun hendaklah dipahami secara objektif bahwa
bila mana terjadi suatu amandemen atau bahkan perubahan terhadap seluruh pasal
UUD 1945, maka hal itu tidak akan menyangkut perubahan terhadap pembukaan UUD
1945, karena berkedudukan sebagai pokok kaidah negara
yang funda mental, merupakan sumber hukum positif, memuat pancasila sebagai dasar filsafat negara serta
terlekat pada kelangsungan hidup negara proklamasi 17 Agustus 1945. Oleh karena itu perubahan terhadap
pembukaan UUD 1945 adalah suatu revolusi dan sama halnya dengan menghilangkan
eksistensi bangsa dan negara bangsa Indonesia.
Berbagai
macam produk
peraturan perundang-undang yang telah dihasilkan dalam reformasi ukum antara
lain, undang-undang politik tahun 1999, yaitu
UU. No.2 tahun 1999 tentang partai politik, UU.No.3 tahun 1999 tentang
pemilihan umum, dan UU.
No.4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan
MPR, DPR dan DPRD :undang-undang pokok pers sehingga menghasilkan pers
yang bebas dan
demokrasi; undang-undang otonomi daerah, yaitu meliputi UU.No.22 tahun 1999
tentang pemerintahan daerah, UU. No 25
tahun 1999 tentang perimbangan keungan
antara pemerintah pusat dan daerah, dan
UU No. 28 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Pada
tingkatan ketetapan MPR telah dilakukan reformasi hukum pada bulan november 1998 yang menghasilkan berbagai
ketetapan antara lain tap No. VIII/1998 tentang pencabutan referendum, karena
menghanbat demokrasi, Tap No. IX /MPR/1998 tentang GBHN yang tidak mungkin
dilaksanakan karena krisis ekonomi serta politik, Tap No X/MPR/1998 tentang negara
yang bebas dari KKN,Tap No. XIII/MPR/1998 tentang masa jabatan presiden,Tap No.
XIV/MPR/1998 tentang pemilihan umum tahun 1999, Tap No. XV/MPR1998 tentang
otonomi daerah dan perimbangan keungan
pusat dan daerah, Tap No. XVI/MPR/1998 tentqng demokrasi ekonomi ,Tap.
No. XVII/MPR/1998 tentang hak asasi peraturan perundang-undangan lainnya.
2.10 Pancasila sebagai Paradigma Reformasi pelaksanaan Hukum
Dalam
suatu negara betapapun baiknya suatu paraturan peraturan perundang-undangan
namun tidak disertai dengan jaminan pelaksanaan hukum yang baik niscaya
reformasi hukum akan menjadi sia-sia belaka.integritas dan moralitas para
aparat penegak hukum dengan sendirinya harus memiliki landasan nilai-nilai
serta norma yang bersumber landasan
filosofis negara , dan bagi bangsa indonesia adalah dasar filsafat negara
pancasila.
Dalam
era reformasi pelaksanaan hukum harus didasarkan pada suatu nilai sebagai
operanasionalnya. Negara pada hakikatnya secara formal (sebagai negara hukum
foemal) harus melindungi hak-hak
warganya terutama hak kodratsebagai suatu hak asasi yang merupakan karunia dari
tuhan yang maha esa ( sila I dan II ). Oleh karena itu pelanggaran terhadap
hak-hak asasi manusia adalah sebagai pengingkaran terhadap dasar felosofis
negara , misalnya pembungkaman demokrasi , penculikan pembatasan
berpendafat,berserikat, berunjuk rasa dan lain sebagainya dengan tanggung jawab
atas kepentingan bersama.Negara
adalah dari, oleh dan untuk rakyat.Rakyat adalah asal mula kekuasaan negara.
Maka dalam pelaksanaan hukum harus mengembalikan negara pada supremasi hukum
yang didasarkan atas kekuasaan yang berada pada rakyat bukannya pada kekuasaan
perseorangan atau kelompok.
Pelaksanaan
hukum pada masa reformasi ini harus benar-benar dapat mewujutkan negara
demokratis dengan suatu supremasi hukum. Artinya pelaksanaan hukum harus mampu
mewujudkan jaminan atas terwujudnya keadilan (sila V), dalam suatu negara yaitu
keseimbangan antara hak dan wajib bagi setiap warga negara tidak memandang
pangkat, jabatan ,golongan,etinsitas, maupun agama. Jaminan atas terwujudnya
kedilan bagi setiap warga negaradalam hidup bersama dalam suatu negara yang meliputi seluruh
unsur keadilan baik keadilan distributif,
keadilan komonikatif, serta keadilan
legal.konsekuensinya dalam
pelaksanaan hukum aparat penegak hukum
terutama pihak kejaksaan adlah sebagai ujung tombaknya sehingga harus
benar-benar bersih dari praktek KKN.
2.11 Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Politik
Landasan
aksiologi(sumber nilai) bagi system poli tik Indonesia adalah sebagai mana
terkandung dalam deklarasi bangsa Indonesia yaitu pembukaan UUD 1945 Alenia IV
yang berbunyi “……… maka di susunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu
kedalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan
kepada Ketuhanan yang maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradap, Persatuaan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
Jikalau
dikaitkan dengan makna alenia ll tentang cita-cita Negara dan kemerdekaan yaitu
demokrasi (bebas,bersatu,berdaulat,adil) dan (makmur) kemakmuran, dasar politik
ini menunjukkan kepada kita bahwa bentuk dan bangunan kehidupan masyarakat yang
bersatu (sila lll), demokrasi (sila lV), berkeadilan dan berkemakmuran (sila V)
serta Negara yang memiliki dasar-dasar moral ketuhanan dan kemanusiaan.
Nilai
demokrasi politik tersebut secara normatif terjabarkan dalam pasal-pasal UUD
1945 yaitu pasal 1 ayat (2) menyatakan:
“Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Pasal 2 ayat (2) menyatakan:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetepkan dengan undang-undang.
Pasal 5 ayat (1) menyatakan:
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakiulan Rakyat.”
Pasal 6 ayat (2) menyatakan:
“Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak.”
Rangkaian keempat pasal tersebut
terkesan sangat unik, karena berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Majelis
Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga tertinggi Negara untuk menjalankan
kedaulatan rakyat, serta berdasarkan Pasal 6 ayat (2) berkuasa memilih
presiden. Akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) susunan dan kedudukannya
justru di atur dengan undang-undang yang ditetapkan oleh Presiden bersama Dewan
Perwakilan Rakyat. Hal ini dipahami berdasarkan semangat dari UUD 1945 yang
merupakan esensi pasal-pasal itu.
- Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam Negara.
- Kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dank arena nya harus tunduk dan bertanggung jawab.
- Produk hokum apapun yang dihasilkan oleh Presiden, baik sendiri maupun bersama-sama lembaga lain.
Prinsip-prinsip demokrasi bilamana kita kembali kepada nilai esensial yang terkandung dalam Pancasila maka kedaulatan tertimggi Negara adalah ditangan rakyat. Rakyat merupakan asal mula kekuasaan Negara. Oleh karena itu paradigm ini harus merupakan dasar pijak dalam reformasi politik.
a. Reformasi atas Sistem Politik
Sistem
mekanisme demokrasi tersebut tertuang dalam Undang-undang Politik yang berlaku
selama Orde Baru yaitu:
- UU tentang Susunan dan Kedaulatan MPR, DPR, dan DPRD (UU No.16/1969 jis UU No. 5/1975 dan UU No. 2/198.
- UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975, jo. UU No.3/1985.
- UU tentang Pemilihan Umum (UU No. 15/1965 jis UU No.4/1975. UU No.2/1980, dan UU No. 1/1985).
2.12 Susunan Keanggotaan MPR
Target
yang sangat vital dalam proses reformasi dewasa ini adalah menyangkut
penjabaran sistem kekuasaan rakyat dalam sistem politik Indonesia. MPR tidak
mungkin dilakukan hanya dengan sekedar copot dan diganti dengan orang lain yang
dianggap aspiratif tanpa melalui dasar-dasar aturan normatif dan
konstitusional. Oleh karena itu untuk melakukan perubahan terhadap susunan
keanggotaan MPR, DPR maka terlebih dahulu harus melakukan reformasi terhadap
peraturan perundangan yang merupakan dasar acuan penyusunan keanggotaan MPR,
DPR.
Undang-undang
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD pada masa orde baru terutama
dalam UU No.2/1985 sebagai beriku
- Susunan keanggotaan MPR terdiri atas keseluruhan anggota DPR, ditambah dengan anggota utusan daerah dan utusan golongan “sebagai kelompok yang lain” dalam jumlah yang sama.
- Utusan golongan diangkat oleh presiden, sedangkan utusan daerah ditetapkan oleh DPRD Tingkat 1 didalamnya termasuk Gubernur/Kepala Daerah Tingkat 1.
- Susunan keanggotaan DPR dan DPRD Tingkat 1 dan Tingkat ll tidak seluruhnya dipilih oleh rakyat melalui pemilu.
- Kata “ditambah” seperti termasuk dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 secara matematis menunjukkan perbandingan jumlah anggota MPR Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang notaben di angkat dan skedar sebagai tambahan akan lebih besar dibandingkan jumlah anggota DPR dan fraksi ABRI yang juga tidak dipilih melalui pemilu.
Perubahan yang telah dilakukan antara lain pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa jumlah anggota MPR sebanyak 700 orang. Anggota DPR hasil PEmilu sebanyak 500 orang. Utusan Daerah sebanyak 135 orang, yitu 5 orang dari setiap Daerah Tingkat 1. Utusan golongan sebanyak 65 orang. Kemudian perubahan yang mendasar adalah pada pasal 2 ayat (3) yaitu Utusan daerah dipilih oleh DPR, dan sebagaimana diketahui bahwa DPR adalah merupakan hasil Pemilu jadi bersifat demikratis. Adapun jumlah wakil dari masing-masing golonglan ditetapkan oleh DPR Pasal 2 ayat (5).
2.13 Susunan Keanggotaan DPR
Perubahan atas isi keanggotaan DPR
tertuang dalam Undang-undang No. 4 Pasal 11 sebagai berikut:
- Pasal 4 ayat 2 menyatakan keanggotaan DPR terdiri atas:
- Anggota partai politik hasil pemilu
- Anggota ABRI yang diangkat.
- Anggota partai politik hasil Pemilu sebanyak 462 orang.
- Anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38 orang.
a. Susunan Keanggotaan DPRD Tingkat 1
Tertuang dalam Undang-undang
Politik No. 4 Tahun 1999 sebgai berikut:
Pasal
18 ayat (1) bahwa pengisian anggota DPRD 1 dilakukan melalui Pemilu dan
pengangkatan.
Pasal
18 ayat (2) menyatakan bahwa DPRD 1 terdiri atas:
- Anggota partai politik hasil Pemilihan Umum.
- Anggota ABRI yang diangkat.
b. Susunan Keanggotaan DPRD ll
Reformasi atas susunan keanggotaan
DPRD ll tertuang dalam Undang-undang Politik No. 4 Tahun 1999 sebagai berikut.
Pasal
25 ayat (1) menyatakan: pengisian anggota DPRD ll dilakukan berdasarkan hasil
Pemilihan Umum dan pengangkatan.
Pasal
25 ayat (2) menyatakan, DPRD ll terdiri atas:
- Anggota partai politik hasil Pemilihan Umum
- Anggota ABRI yang diangkat.
Demikianlah perubahan atas Undang-undang tentang Susunan Keanggotaan MPR, DPR, dan DPRD agar benar-benar mencerminkan nilai Kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila Keempat pancasila yang merupakan Paradigma Demokrasi.
2.14 Reformasi Partai Politik
Demi terwujudnya
supra struktur politik yang benar-benar demokratis dan spiratif maka sangat
penting untuk dilakukan penataan kembali infra struktur politik, terutama
tentang partai politik. Pada masa orde baru ketentuan tentang partai politik diatur
dalam Undang-undang Politik yaitu UU No.3 Tahun 1975,jo. UU No.3 Tahun 1985,
tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Dalam
Undang-undang tersebut ditentukan bahwa partai politik dan golongan karya hanya
meliputi tiga macam yaitu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya
(Golkar), dan Partai Demokrasi Pancasila (PDI).
Demikian juga
pada masa orde baru keberadaan tidak
infrastruktur politik tersebut masih diseragamkan dengan asas tunggal
Pancasila, sehingga secara politis kehidupan yang demikian ini akan mematikan
proses demokratisasi dalam kehidupan Negara. Penentuan asas tunggal pancasila
berarti tidak mencerminkan hakikat nilai Pancasila itu sendiri yang “majemuk tunggal”, yang disimbulkan dalam
lambang Negara yaitu “Bhineka Tunggal Ika”,
yang maknanya beraneka ragam akan tetapi satu kesatuan juga. Dengan ketentuan
asas tunggal maka nilai Pancasila direduksi sebagai alat penguasa orde baru.
Adapun ketentuan
yang mengatur tentang Partai Politik diatur dalam Undang-undang No.2 Tahun
1999, tentang Partai Politik yang lebih demokratis dan memberikan kebebasan
serta keleluasaan untuk menyalurkan aspirasinya. Dalam Undang-undang No.2 Tahun
1999 tersebut ditantukan :
Syarat-syarat
pembentukan Partai Politik termasuk dalam Pasal 2 Undang-undang No.2 Tahun 1999
sebagai berikut.
Ayat
(1) Sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga Negara Republik Indonesia
yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dapat membentuk Partai Politik.
Ayat
(2) Partai Politik sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat :
- Mencantumkan Pancasila sebagai dasar Negara dari Negara kesatuan Republik Indonesia dalam anggaran dasar partai.
- Asas atau ciri, aspirasi, dan program partai Politik tidak bertentangan dengan Pancasila.
- Keanggotaan Partai Politik bersifat terbuka untuk setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah mempunyai hak pilih.
- Partai Politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang Negara asing, bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia Sang Merah Putih, bendera Negara asing gambar perorangan dan nama serta lambang partai lain yang telah ada.
Atas ketentuan UU tersebut maka bermunculah Partai Politik di era reformasi ini mencapai 144 partai politik. Namun dalam kenyataannya yang memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan umum hanya 48 partai politik. Partai-partai politik itulah yang ikut dalam pemilu tahun 1999, yang berdasarkan hasil sidang istimewa MPR dipercepat yaitu tanggal 7 juni 1999. Selain itu tidak kalah pentingnya pelaksanaan pemilu juga dilakukan perubahan dan diatur dalam Undang-undang No.3 Tahun 1999 tentang pemilihan umum.
Pemilihan umum sebagaimana termuat dalam Undang-undang tersebut adalah bersifat, jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang benar-benar domokratis maka penyelenggara pemilu tersebut berdasarkan ketentuan Undang-undang No.3 Tahun 1999, BAB III pasal 8, dijelaskan bahwa penyelenggara pemilihan umum dilakukan oleh komisi pemilihan umum (KPU) yang bebas dan mandiri, yang terdiri atas unsur partai-partai politik peserta pemilihan umum dan unsur pemerintah yang bertanggung jawab kepada Presiden.
Reformasi atas Kehidupan Politik
Para
pendiri Negara serta penggali nilai-nilai pancasila menentukan pancasila
sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta memformalkan UUD
1945 sebagai Undang-undang dasar Negara dimaksudkan untuk mewujudkan demokrasi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana terkandung dalam nilai
kerakyatan sila IV pancasila.
Reformasi
kehidupan politik juga dilakukan dengan meletakkan cita-cita kehidupan
kenegaraan dan kebangsaan dalam suatu kesatuan waktu yaitu nilai masa lalu,
masa kini dan kehidupan masa yang akan datang. Atas dasar inilah maka
pertimbangan realistik sebagai unsurbyang sangat penting yaitu dinamika
kehidupan masyarakat, aspirasi serta tuntutan masyarakat yang senantiasa
berkembang untuk menjamin tumbuh berkembangnya demokrasi di Negara Indonesia,
karena faktor penting demokrasi dalam suatu Negara adalah partisipasi dari
seluruh warganya. Dengan sendirinya kesemuanya ini harus diletakkan dalam
kerangka nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri sebagai filsafat
hidupnya yaitu nilai-nilai Pancasila.
2.15 Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi
Tidak
terwujudnya perlembagaan proses politik yang demokratis, mengakibatkan hubungan
prbadi merupakan mekanisme utama dalam hubungan sosial, politik, dan ekonomi
dalam suatu negara. Kelemahan atas sistem hubungan kelembagaan demokratis
tersebut memberikan peluang bagi tumbuh berkembangnya hubungan antara penguasa
politik dan pengusaha, bahkan antara birokrat dengan penguasa (Sanit, 1999:85).
Terlebih lagi karena lemahnya sistem kontrol kelembagaan berkembang pula
penguasa sekaligus sebagai pengusaha, yang didasarkan atas birokrasi dan wibawa
keluarga pengusaha.
Kondisi
yang demikian ini jelas tidak mendasarkan atas nilai – nilai Pancasila yang
meletakkan kemakmuran pada paradigma demi kesejahteraan seluruh bangsa. Bangsa
sebagai unsur pokok serta subjek dalam negara yang merupakan penjelmaan sifat
kodrat manusia individu makhluk sosial, adalah sebagai satu keluarga bangsa.
Oleh karena itu perubahan dan pengembangan ekonomi harus diletakkan pada
peningkatan harkat martabat serta kesejahteraan seluruh bangsa sebagai satu
negara. Sistem ekonomi yang berbasis pada kesejahteraan rakyat menurut
Moh.Hatta, merupakan pilar (soko guru) ekonomi Indonesia.
Sistem ekonomi Indonesia pada masa
orde baru bersifat “birokratik
otoritarian” yang ditandai dengan pemusatan kekuasaan dan partisipasi dalam
membuat keputusan – keputusan nasional hampir sepenuhnya berada di tangan
penguasa bekerja sama dengan kelompok militer dan kaum teknokrat. Adapun
kelompok pengusaha oligopolistik didukung oleh pemerintah bekerjasama dengan
masyarakat bisnis internasional, dan terlebih lagi kuatnya pengaruh otoritas
kekuasaan keluarga pejabat negara termasuk Presiden (Wiliam Liddle, 1995:74)
Kebijaksanaan ekonomi yang selama
ini diterapkan yang hanya mendasakan pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip
nilai kesejahteraan bersama seluruh bangsa, dalam kenyataannya hanya menyentuh
kesejahteraan sekelompok kecil orang bahkan penguasa. Pada era ekonomi global
dewasa ini dalam kenyataannya tidak mampu bertahan. Krisis ekonomi yang terjadi
di dunia dan melanda Indonesia mengakibatkan ekonomi Indonesia terpuruk,
sehingga kepailitan yang diderita oleh para pengusaha harus ditanggung oleh
rakyat.
Dalam kenyataannya sektor ekonomi
yang justru mampu bertahan pada masa krisis dewasa ini adalah ekonomi
kerakyatan, yaitu ekonomi yang berbasis pada usaha rakyat. Oleh karena itu
subsidi yang luar biasa banyaknya pada masa orde baru hanya dinikmati oleh
sebagian kecil orang yaitu sekelompok konglomerat, sedankan bilamana mengalami
mengalami kebangkrutan seperti saat ini rakyatlah yang banyak dirugikan. Oleh
karena itu rekapitalisasi pengusaha pada masa krisis dewasa ini sama halnya
dengan rakyat banyak membantu pengusaha yang sedang terpuruk.
Langkah yang strategis dalam upaya
melakukan reformasi ekonomi yang berbasis pada ekonomi rakyat yang berdasarkan
nilai – nilai Pancasila yang mengutamakan kesejahteraan seluruh bangsa adalah
sebagai berikut : (1) Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu
dilakukan dengan program “social safety
net” yang populer dengan program Jaringan Pengamanan Sosial (JPS).
Sementara untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, maka
pemerintah harus secara konsisten menghapuskan KKN, serta mengadili bagi oknum
pemerintah pada masa orde baru yang melakukan pelanggaran. Hal ini akan memberikan
kepercayaan dan kepastian usaha. (2) Program rehabilitasi dan pemulihan
ekonomi. Upaya ini dilakukan dengan menciptakan kondisi kepastian usaha, yaitu
dengan diwujudkannya perlindungan hokum serta Undang – Undang persaingan yang
sehat. Untuk itu pembenahan dan penyehatan dalam sektor perbankan menjadi
prioritas utama, karena perbankan merupakan jantung perekonomian. (3)
Transformasi struktur, yaitu guna memperkuat ekonomi rakyat maka perlu
diciptakan sistem untuk mendorong percepatan perubahan struktural (structural transformation).
Transformasi sruktural ini meliputi
proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah
ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi subsistem ke ekonomi pasar, dari
ketergantungan kepada kemandirian, dari orientasi dalam negeri ke orientasi
ekspor (Nopirin, 1999:4). Dengan sendirinya intervensi birokrat pemerintahan
yang ikut dalam proses ekonomi melalui monopoli demi kepentingan pribadi harus
segera diakhiri. Dengan system ekonomi yang mendasarkan nilai pada upaya
terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka peningkatan kesejahteraan akan
dirasakan oleh sebagian besar rakyat, sehingga dapat mengurangi kesenjangan
ekonomi.
2.16 Aktualisasi Pancasila
Pancasila
sebagai dasar filsafat negara, pandangan hidup bangsa serta ideology bangsa dan
negara, bukanlah hanya merupakan rangkaian kata – kata yang indah namun harus
diwujudkan dan di aktualisasikan dalam berbagai bidang dalam kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Aktualisasi Pancasila dapat
dibedakan atas dua macam yaitu aktualisasi objektif
dan subjektif. Aktualisasi Pancasila
yang objektif yaitu aktualisasi Pancasila dalam
berbagai bidang kehidupan kenegaraan yang meliputi kelembagaan negara antara
lain legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Selain itu juga meliputi bidang –
bidang aktualisasi lainnya seperti politik, ekonomi, hokum terutama dalam
penjabaran ke dalam undang – undang, Garis – Garis Besar Haluan Negara, hankam,
pendidikan maupun bidang kenegaraan lainnya. Adapun aktualisasi Pancasila yang subjektif adalah aktualisasi Pancasila
pada setiap individu terutama dalam aspek moral dalam kaitannya dengan hidup
negara dan masyarakat. Aktualisasi yang subjektif tersebut tidak terkecuali
baik warga negara biasa, aparat penyelenggara negara, penguasa negara, terutama
kalangan elit politik dalam kegiatan politik perlu mawas diri agar memiliki
moral Ketuhanan dan Kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam Pancasila.
2.17 Tridharma Perguruan Tinggi
Pendidikan
tinggi sebagai institusi dalam masyarakat bukanlah merupakan menara gading yang
jauh dari kepentingan masyarakat, melainkan senantiasa mengemban dan mengabdi
kepada masyarakat. Maka menurut PP. No.60 Th. 1999, bahwa perguruan tinggi
memiliki tiga tugas pokok yang disebut Tridharma
Perguruan Tinggi, yang meliputi : (1) pendidikan tinggi, (2) penelitian,
dan (3) pengadian kepada masyarakat.
a. Pendidikan Tinggi
Sebagai
suatu lembaga pendidikan tinggi memiliki tugas sebagai dharma yang pertama
yaitu melaksanakan pendidikan untuk menyiapkan, membentuk dan menghasilkan
sumber daya manusia yang berkualitas. Maka tugas pendidikan tinggi adalah (1)
meyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
akademik dan atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian. (2)
mengembangkan dan menyebar luaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian
serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat
dan memperkaya kebudayaan nasional (Penjl. Pasal 3 ayat 2, jo. Pasal 2 ayat 1
PP.60 Th. 1999). (lihat Suhadi, 1995 : 212). Sebagai bangsa yang memiliki
pandangan hidup Pancasila intelektual produk perguruan tinggi berupaya untuk
mewujudkan sumber daya intelektual yang bermoral Ketuhanan dan kemanusiaan.
Oleh karena itu intinya bahwa pendidikan tinggi haruslah menghasilkan ilmuwan,
intelektual serta pakar yang bermoral Ketuhanan yang mengabdi pada kemanusiaan.
b. Penelitian
Inovasi
yang bersifat vital di perguruan tinggi adalah penelitian ilmiah. Penelitian
inilah yang merupakan misi perguruan tinggi dan merupakan dharma kedua dari
Tridharma Perguruan Tinggi. Yang dimaksud penelitian adalah suatu kegiatan
telaah yang taat kaidah, bersifat objektif dalam upaya untuk menemukan kebenaran
dan atau menyelesaikan masalah dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan atau
kesenian (Pasal 3 ayat 3 PP. 60 Th. 1999)
Sebagaimana
nilai yang terkandung dalam Pancasila bahwa intelektual yang melakukan
penelitian haruslah bermoral Ketuhanan dan kemanusiaan. Seorang peneliti
haruslah bmoral dan mengabdikan diri kepada nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini
lebih mempertegas bahwa seorang ilmuwan, peneliti tidak bersifat bebas nilai
melainkan senantiasa berpegang dan mengemban nilai kemanusiaan yang didasari nilai
Ketuhanan.
Dasar-dasar
nilai yang terkandung dalam Pancasila inilah yang menjiwai moral peneliti
sehingga suatu penelitian harus bersifat objektif dan ilmiah. Seorang peneliti
harus berpegangan pada moral kejujuran yang bersumber pada Ketuhanan dan kemanusiaan.
Suatu hasil penelitian tidak boleh karena motivasi uang, kekuasaan, ambisi,
atau bahkan kepentingan primodial tertentu. Selain itu asas kemanfaatan
penelitian haruslah demi kesejahteraan umat manusia, sehingga dengan demikian
suatu kegiatan penelitian harus diperhitungkan kemanfaatannya bagi masyarakat
luas serta peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan.
c. Pengabdian kepada Masyarakat
Perguruan
tinggi sebagai lembaga masyarakat, senantiasa mengembangkan kegiatannya demi
kepintangan masyarakat. Oleh karena itu pengabdian kepada masyarakat merupakan
dharma ketiga dari Tridharma Perguruan
Tinggi, Berdasarkan penjelasan Pasal 3 ayat (1) PP. 60 Th. 1999, bahwa yang
dimaksud dengan pengabdian kepada
masyarakat adalah suatu kegiatan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam
upaya memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat.Realisasi
dharma ketiga dari tridharma perguruan tinggi tersebut dengan sendirinya
disesuaikan dengan cirri khas, bersifat serta berkarakteristik bidang ilmu
bidang ilmu yang dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan.
Aktualisasi pengabdian kepada masyarakat ini pada hakikatnya merupakan suatu
aktualisasi pengembangan ilmu pengetahuan demi kesejahteraan umat manusia.
Dalam pengertian inilah maka aktualisasi kegiatan pengabdian kepada masyarakat,
sebenarnya merupakan suatu aktualisasi kegiatan masyarakat ilmiah perguruan
tinggi yang dijiwai oleh nilai-nilai Ketuhanan dan kemanusiaan, sebagaimana
terkandung dalam Pancasila.
2.18 Budaya Akademik
Perguran Tinggi
sebagai suatu institusi dalam masyarakat memiliki cirri khas tersendiri di
samping lapisan-lapisan masyarakat lainnya. Warga dari suatu perguruan tinggi adalah
insan-insan yang memiliki wawasan dan integritas ilmiah. Oleh karena itu
masyarakat akademik harus senantiasa mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan
esensi pokok dari aktivitas perguruan tinggi.
Terdapat sejumlah ciri masyarakat ilmiah sebagai budaya akademik sebagai berikut:
Terdapat sejumlah ciri masyarakat ilmiah sebagai budaya akademik sebagai berikut:
- kritis
- kreatif
- objektif
- analitis
- konstruktif
- dinamis
- dialogis
- menerima kritik
- menghargai prestasi ilmiah atau akademik
- bebas dari prasanka
- menghargai waktu
- memiliki dan menjunjung tinggi tradisi ilmiaberorientasi ke masa depan
- kesejawatan/ kemitraan.
Ciri-ciri masyarakat ilmiah inilah yang harus dikembangkan dan merupakan budaya dari suatu masyarakat akademik.
2.19 Kampus sebagai Moral force Pengembangan Hukum dan HAM
Masyarakat
kampus sebagai masyarakat ilmiah harus benar-benar mengamalkan budaya akademik,
terutama untuk tidak terjebak pada politik praktis dalam arti terjebak pada
legitimasi kepentingan penguasa. Hal ini bukan berarti masyarakat kampus tidak
boleh berpolitik, melainkan masyarakat kampus harus benar-benar berpegang pada
komitmen moral yaitu pada suatu tradisi kebenaran objektif. Masyarakat kampus
harus terhindari dari kiprah tarik-menarik kekuasaan dalam pertentangan
politik.
Masyarakat kampus wajib senantiasa bertanggung jawab secara moral atas
kebenaran objektif, tanggung jawab terhadap masyarakat bangsa dan negara, serta
mengabdi kepada kesejahteraan kemanusiaan. Oleh karena itu sikap masyarakat
kampus tidak boleh tercemar oleh kepentingan-kepentingan politik penguasa
sehingga benar-benar luhur dan mulia. Oleh karena itu dasar pijak kebenaran
masyarakat kampus adalah kebenaran yang bersumber pada hati nurani serta sikap
moral yang luhur yang bersumber pada Ketuhanan dan kemanusiaan.
a. Kampus sebagai Sumber Pengembangan Hukum
Dalam rangka
bangsa Indonesia melaksanakan reformasi dewasa ini suatu agenda yang sangat mendesak
untuk diwujudkan adalah reformasi dalam bidang hukum dan peraturan
perundang-undangan. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum,
oleh karena itu dalam rangka melakukan penataan negara untuk mewujudkan
masyarakat yang demokratis maka harus mengakkan supremasi hukum. Agenda
reformasi yang pokok untuk segera direalisasikan adalah melakukan reformasi
dalam bidang hukum. Konsekuensinya dalam mewujudkan suatu tatanan hukum yang
demokratis, maka harus dilakukan pengembangan hukum positif.
Sesuai dengan
tertib hukum Indonesia dalam rangka pengembangan hukum harus sesuai dengan
tertib hukum Indonesia. Berdasarkan tertib hukum Indonesia maka dalam
pengembangan hukum positif di Indonesia, maka dasar filsafat negara merupakan
sumber materi dan sumber nilai bagi pengembangan hukum, hal ini berdasarkan
Tap. No. XX/MPRS/1966, dan juga Tap No. III/MPR/2000. Namun perlu disadari
bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum dasar nasional, adalah sumber materi
dan nilai bagi penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam
penyusunan hukum positif di Indonesia nilai Pancasila sebagai sumber materi,
konsekuensinya hukum di Indonesia harus ersumber pada nilai-nilai hukum Tuhan
(sila I), nilai yang terkandung pada harkat, martabat dan kemanusiaan seperti
jaminan hak dasar (hak asasi) manusia (sila II), nilai nasionalisme Indonesia
(sila III), nilai demokrasi yang bertumpu pada rakyat sebagai asal mula
kekuasaan negara (sila IV), dan nilai keadilan dalam kehidupan kenegaraan dan
kemasyarakatan (sila V).
Selain itu tidak
kalah pentingnya dalam penyusunan dan pengembangan hukum aspirasi dan realitas
kehidupan masyarakan dan rakyat adalah merupakan sumber materi dalam penyusunan
dan pengembangan hokum
b. Kampus sebagai Kekuatan Moral Pengembangan Hak Asasi Manusia
Sebagaimana
dibahas di muka bahwa dalam refoermasi dewasa ini bangsa Indonesia telah
mewujudkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia yaitu UU Republik Indonesia No. 39
Tahun 1999. Sebagaimana terkandung dalam Konsiderans, bahwa yang dimaksud
dengan Hak Asasi Manusia adalah, seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati
dijinjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Disamping
hak asasi manusia, UU No.39 Tahun 1999 tersebut juga menentukan Kewajiban Dasar
Manusia, yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak
memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
Dalam penegakkan
hak manusia tersebut mahasiswa sebagai kekuatan moral harus bersifat objektif,
dan benar-benar berdasarkan kebenaran moral demi harkat dan martabat manusia,
bukan karena kepentingan politik terutama kepentingan kekuatan politik dan
kospirasi kekuatan internasional yang ingin menghancurkan negara Indonesia.
Perlu disadari bahwa dalam
menegakkan hak asasi tersebut,
pelanggaran hak asasi dapat dilakukan oleh seseorang, kelompok orang termasuk
aparat negara, penguasa negara baik disengaja maupu tidak disengaja (UU No. 39
Tahun 1999). Dewasa ini kita lihat dalam menegakkan hak asasi sering kurang
adil misalnya kasus pelanggaran beberapa orang saja di Timtim, banyak kekuatan yang mendesak untuk mengusut
dan menyeret bangsa sendiri ke Mahkamah Internasional. Namun ratusan ribu
rakyat kita seperti korban krusuhan Sambas, Sampit, Poso dan yang lainnya tidak
ada kelompok yang memperjuangkannya. Padahal mereka sangat menderita karena
diinjak-injak hak asasinya.
Terima Kasih atas kunjungan anda, jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberikan komentar atas postingan ini...
Terima Kasih atas kunjungan anda, jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberikan komentar atas postingan ini...