SIKAP HIDUP KEBERSAMAAN
Table of Contents
Pembelajaran tentang Kewarganegaraan merupakan suatu pembelajaran yang sangat penting untuk diajarkan sejak dini, yakni sejak anak masuk pada lembaga pendidikan sekolah dasar. Penanaman akan pentingnya Kewarganegaran bertujuan untuk membuat siswa dapat menerima dan memenuhi tanggung jawab sosial yang berhubungan dengan kewarganegaraan di tengah-tengah masyarakat, siswa memiliki sikap tanggap terhadap masalah-masalah yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat, siswa mampu mengidentifikasi situasi dimana tindakan sosial diperlukan, siswa mampu bekerja secara individual maupun kelompok untuk mengambil tindakan yang tepat, siswa memiliki kemampuan berpartisipasi sosial, siswa mampu bertindak secara bertanggung jawab, dan siswa memiliki kemauan dan bersedia membantu/menolong orang lain.
1.1. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas, maka masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah peran
keluarga dalam pendidikan untuk membangun semangat hidup dalam kebersamaan?
2.
Apa itu seribu satu
suku bangsa?
3.
Apasaja rukun dalam
kehidupan beragama?
4.
Apa itu hamparan
zambrud khatulistiwa?
5.
Apa itu pelangi Bahasa
nusantara?
6.
Apa itu kesatuan dan
persatuan bangsa?
1.2. Batasan Masalah
Makalah ini hanya
membahas tentang:
1.
Peran keluarga dalam
pendidikan untuk membangun semangat hidup dalam kebersamaan.
2.
Seribu satu suku
bangsa.
3.
Rukun dalam kehidupan
beragama.
4.
Hamparan zambrud
khatulistiwa.
5.
Pelangi Bahasa
nusantara.
6.
Kesatuan dan persatuan
bangsa.
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan
makalah ini dibuat agar mengetahui:
1.
Apa peran keluarga dalam
pendidikan untuk membangun semangat hidup dalam kebersamaan.
2.
Seribu satu suku
bangsa.
3.
Bagaimana rukun dalam
kehidupan beragama.
4.
Hamparan zambrud
khatulistiwa.
5.
Pelangi Bahasa
nusantara.
6.
Kesatuan dan persatuan
bangsa.
1.4. Manfaat Penulisan
1.
Sebagai tambahan pengetahuan, wawasan dan penerapan ilmu
pengetahuan bagi penulis.
2.
Sebagai informasi kepada pembaca agar lebih memahami tentang sikap hidup
kebersamaan.
3.
Sebagai masukan bagi calon guru tentang kapita selekta
2.1. Peran Keluarga dalam Mendidik untuk Membangun Semangat Hidup dalam Kebersamaan
Sunal
(1991 : 28) mengatakan membangun semangat hidup dalam kebersamaan dimulai dari
rumah dan dilanjutkan dirumah. Faktor – factor keluarga memiliki pengaruh yang
besar sekali dalam dimensi pendidikan tersebut bagi anak – naak dan
remaja.Beberapa metode metode yang banyak digunakan anatara lain :
1. Pemodelan2. Pembelajaran langsung3. Pelatihan4. Simulasi5. Perbandingan masalah / fenomena6. Permainan interaktif7. Supervise8. Pembelajaran tak langsung
Realitas
kehidupan anak memang dimulai dirumah itulah pula yang dikemukakan oleh
ferguson (1991 : 389) bahwa dalam pendidikan multikultur (masyarakat yang
berbudaya majemuk) untuk membangun semangat hidup kebersamaan dalam masyarakat
demokrasi hanya mengharapkan hasil yang maksimal, terutama pada aspek
partisipasi jika ada keterpaduan program disekolah dan di masyarakat. Leitcher
(1979) menegaskan bahwa sesungguhnya keluarga memang pendidik. Karena itu
keberadaan nya harus diperhitungkan pada konteks pendidikan. Kkeluarga dianggap
lebih mampu untuk memperkenalkan kehidupan yang nyata , yang oleh oirstein dan
Levine (1989) dipandang sebagai esensi endidikan melalui penyediaan kesempatan
untuk mengalami kehidupan pada diri anak, sehingga ia mampu membentuk tatanan
kehidupan baru dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam
Pendidikan keluarga memiliki peran yang amat penting dalam menjalankan fungsi
sosialisasi bagi anak – anak nya.Pendidikan multikultur dalam membangun masyarakat demokratis merupakan
konsep operasional dalam fungsi sosialisasi yang dialami masyarakat.
Salah
satu keunggulan pendidikan dalam keluarga terletak pada fungsi afektif dan
religious. Hampir semua keluarga menekankan konsep – konsep yang mendasari
agama kepada pola perilaku kehidupan anak – anak mereka. Nilai –nilai dalam
agama sangat mendukung dalam berkehidupan kebersamaan. Keluarga menurut Soelaeman (1992 : 50) sangat
intens mendorong anggotanya memainkan peran dalam suatu dialog, menurutnya para
anggota keluarga yang hidup dalam suatu naungan keluarga itu mungkin berada
dalam naungan dunia yang berbeda, sehingga dpat melahirkan berbagai penafsiran
dan persepsi mengenai suatu peristiwa tertentu dalam suatu keluarga itu.
Perbedaan yang kadang bersifat principal itu menyebabkan didalam keluarga
membutuhkan terjadinya semacam “pencapaian”. Apa yang didapatkan dari
lingkungan masyarakatnya direkam dan kemudian melatarbelakangi dialog nya
dengan sesame anggota keluarganya. Keluarga juga disebut unit yang
memilikinkeeratan dalam bekerjasam dan terdpat hubungan saling bergantung.
Seorang anggota keluarga seringkali tak memiliki fungsintanpa dukungan yang
lain. Hubungan saling mendukung itulah
yang memiliki nilai – nilai tertentu melaluininteraksi anggota keluarga.
Keluarga
memang memiliki potensi untuk mewujudkan tujuan akhirnya situasi dan semangat
hidup dalam kebersamaan. Kadarusmadi (1996) menegaskan hal ini dengan
mengemukakan bahwa situasi yang terbina dalam pertemuan antara orang tua dan
anak secara komunikatif, psikologis alam mencapai tujuan pendidikan, maka
situasi seperti itu merupakan situasi yang baik bagi terbinanya suatu peristiwa
pendidikan yang bermakna bagi anak. Dalam keluarga sebenarnya dikembangkan
nilai – nilai yang berlaku dalam masyarakat.Paolucci, Hall, dan Axinn (1977 : 65
- 66) menyebutkan tiga tipe dasar yang berkembang dalam kehidupan keluarga,
yang ternyata syarat akan nilai – nilai yang menjadi bahan baku bagi membangun
hidup kebersamaan, yaitu :
1. Nilai – nilai kepribadian (personal values)2. Nilai – nilai moral (moral values)3. Nilai – nilai sosial (sosial values)
Nilai
– nilai moral mencakup nilai benar dan salah, nilai tanggung jawab terhadap
kehidupan yang dilindungi oleh kebebasan dan hak – hak azasi manusia. Nilai –
nilai itu diwujudkan dalam sikap kejujuran, saling ketergantungan, toleran,
kedamaian kebebasan berpikir,memiliki rasa keterbukaan, integeritas, memiliki
perhatian (peka) terhadap kesenjangan, dan konsistensi antara pemikiran yang
ideal dan perbuatan nyata. Sedangkan nilai –nilai sosial mencakup nilai kerja sama,
pengakuan / penghargaan, kebebasan, keadilan, kebaikan, kesamaan,persesuaian /
kecocokan, penghargaan terhadap peranan mayoritas, rasa saling membutuhkan, dan pengakuan terhadap harga
diri dan martabat setiap orang.
Pembentukan
nilai –nilai dalam keluarga merupakan proses pendidikan yang dialamidengan
sendirinya atau yang biasa disebut secara “autonomous learning” bagi para
anggotanya. Diakui bahwa dimensi pendidikan dalam keluarga begitu luas.
Sikap
dan perilaku demokratis yang membangun semangat hidup dalam kebersamaan adalah
salah satu nilai yang relevan dan amat penting yang berada didalamnya. Termasuk
dalam proses pendidikan itu adalah perbedaan persepsi yang menurut Paolucci
Hall, dan Axinn (1997:55) merupakan factor penting dalam belajar. Stimulus yang
didapat seseorang menentukan besarnya kesempatan untuk mendapatkan variasi
pengalaman orang itu serta membentuk persepsi yang sesuai dan sejalan dengan
situasi yang baru. Intensifikasi hubungan dalam keluarga akan memberikan
kesempatan yang lebih luas sebagai arena yang utama bagi para anggotanya untuk
mengalami pendidikan seperti itu. Sementara itu sekolah merupakan arena utama
yang lain, kekuatannya terletak pada ketersediaan sarana fisik, non fisik dan
fasilitas yang dirancang secara sengaja dan terencana untuk melaksanakan
program pendidikan.
Dalam
perkembangan zaman seperti sekarang ini, keluarga tidak mungkin lagi memenuhi
semua tuntutan dan kebutuhan aspirasi generasi muda, terutama yang berkaitan
dengan kebutuhan akan informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu,
secara hipotesis diakui bahwa semakin maju suatu masyarakat akan semakin
penting peranan sekolah. Jelaslah bahwa keluarga pada dasarnya memiliki potensi
untuk menjalankan peran pendidikan yang mampu mendukung terciptanya suasana
hidup dengan semangat kebersamaan, terutama melalui proses sosialisasi bagi
anak-anak. Dengan ungkapan yang lain, keluarga dan sekolah merupakan wahana
yang seharusnya saling mendukung dalam pemdidikan demokrasi untuk membangun
kehidupan dengan semangat kebersamaan tersebut.
Urgensi
keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang pertama, dapat dirangkum
setidak-tidaknya disebabkan oleh beberapa hal :
1.
Urutan pertama secara
kronologis dari pendidikan anak yang ditempuh anak dalam hidupnya.
2.
Masa pendidikan yang
lebih lama, karena setelah anak masuk sekolah dan masyarakat, keluarga tidak
lepas tangan dan pendidikan dalam keluarga tetap berlangsung dengan porsi waktu
yang lebih luas.
3.
Pendidikan keluarga
dipandang lebih intensif dilihat dari sudut hubungan antara orang tua dengan
anak secara kodrati.
Ditinjau
dari sisi anak, diakui bahwa menurut kodratnya anak memiliki kemampuan untuk
mengembangkan diri, tetapi dengan bantuan atau interaksi dan komunikasinya
dengan orang lain terutama jika interaksi itu berlangsung dengan orang tuanya,
maka pengembangan diri itu akan berlangsung lebih baik (Kadarusmadi, 1996).
Demikian pula ditinjau dari sudut pendidikan, anak baru akan menjadi manusia
dan memahami dirinya setelah ia hidup bersama dan berinteraksi dengan orang
lain, dan dengan kedua orangtuanya (Langeveld, 1980), disamping dinamika
kepribadiannya secara internal dalam dirinya dan pengaruh interaksinya dengan
lingkungan fisik dan budaya. Pendidikan budaya politik (civic culture) yang
akan mendorong semangat hidup dalam kebersamaan dalam masyarakat demokrasi yang
stabil sebagimana dikemukakan Almond dan Verba (1995) perlu dilakukan dalam
pendidikan di sekolah.
Dari beberapa ungkapannya dapat
ditangkap bahwa yang dimaksud dengan budaya politik merupakan salah satu aspek
dari system politik yaitu pola sikap politik yang diperagakan oleh sejumlah
besar individu yang memiliki kewenangan sebagai warga negara pada suatu negara,
yang disebutnya sebagai kompetensi politik.
Pendidikan politik yang dapat mendorong
kehidupan harmonis di tengah – tengah masyarakat yang majemuk, penting
dilakukan, meskipun hal itu tidaklah mudah.
Menurut Wakhinuddin
(2001) pembelajaran di kelas multietnik tidaklah mudah dilaksanakan, suatu keadaan
sulit akan dijumpai manakala guru tidak mempunyai pengetahuan dan kemampuan
dalam mengelola kelas multietnik. Proses pembelajaran tak berjalan lancar
karena terhalang oleh pandangan relativisme budaya siswa maupun guru, yang pada
akhirnya mengurangi kualitas pendidikan. Keadaan semacam ini sering dijumpai di
Indonesia, dan menyulitkan terlaksananya pendidikan yang baik. Untuk mengatasi kelemahan ini hendaklah
ditemukan suatu strategi pengajaran multietnik. Kemajemukan suku merupakan
salah satu ciri masyarakat Indonsia yang seringkali dibanggakan. Banyak yang
belum menyadari bahwa kemajemukan tersebut juga menyimpan potensi konflik yang dapat
mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemajemukan (pluralism)
suku di Indonesia pada masa kini sudah berbeda gambarannya dengan kemajemukan
suku masa lampau. Hubungan sosial di daerah pertemuan antarsuku tentunya lebih
rumit karena adanya perbedaan budaya. Pendidikan kemajekukan (multi kultur) sebagai
bagian dari pendidikan politik bangsa perlu dilakukan untuk
mengembangkan kompetensi siswa baik personal, sosial, maupun
individual.
Indikator yang ditunjukkan
dari kompetensi itu antara lain adalah:
1.
sadar akan pengaruh
pemerintah terhadap dirinya,
2.
mengikuti dan menaruh
perhatian pada proses politik,
3.
menyerap informasi
politik,,
4.
memiliki pendapat
tentang sejumlah masalah politik,
5.
terlibat dalam
pembicaraan/wacana politik,
6.
leluasamembicarakan
soal politik dengan siapapun,
7.
memandang dirinya mampu
mempengaruhi pemerintah/memiliki kontrol tertentu terhadap elit politik dan
keputusan politik,
8.
aktif menjadi anggota
organisasi tertentu,
9.
menyatakan kepercayaan
terhadap lingkungan sosialnya,
10. memiliki kebanggaan nasional.
Pendidikan budaya
politik dimaksud dalam tulisan ini dipertegas dengan sebutan membangun semangat
hidup kebersamaan dalam masyarakat demokrasi, mengingat demokrasilah inti dari
budaya politik sebagaimana tergambar pada bagian terdahulu. Dalam konteks
pendidikan demokrasi seperti itu, maka setiap warga Negara yang demokratis
konstitusional, diharapkan memahami konsep dan prinsip-prinsip demokrasi agar
mampu berpartisipasi secara bermakna dalam kehidupan negara dan realitas
kehidupan sosial.
Pemahaman minimal yang
dibutuhkan antara lain adalah pemahaman tentang tujuan dan fungsi hak-hak
konstitusional dan kemerdekaan, seperti kebebasan berekpresi, kebebasan beragama,
perlindungan terhadap dakwaan yang tidak beralasan dan dari perampasan hak
tanpa alasan, hak untuk mendapatkan keadilan, dan perlindungan dari bahaya
tindak kejahatan (NAEP, 1983 dalam Patrick dan Hoge, 1991). Dengan demikian
dapat dipahami bahwa prinsip-prinsip inilah yang secara minimal seyogianya
menjadi bahan material bagi pendidikan demokrasi dalam masyarakat multi kultur
untuk membangun semangat hidup dalam kebersamaan.
Apa yang diungkapkan
Patrick dan Hoge yang disebutnya sebagai prinsip-prinsip demokrasi itu
merupakan bahan minimal yang harus dipahami seorang warga negara untuk mampu
memberikan partisipasinya dalam membangun masyarakat demokratis dalam kenyataan
multikultur.
Kemampuan lain yang
lebih lengkap masih banyak dibahas para ahli. Cogan (1997) menyebutkan lebih
banyak lagi tentang kemampuan yang dituntut warga negara untuk berpartisipasi
dalam membangun masyarakat multi kultur tersebut, terutama dalam menghadapi
abad-21, meskipun tidak menyebutnya secara spesifik sebagai komponen pendidikan
multikultur. Kemampuan itu, ialah:
1.
Kemampuan memahami dan
mendekati masalah-masalah sebagai anggota masyarakat global.
2.
Kemampuan bekerja sama
dengan yang lain dalam bentuk kooperatif yang bertanggung jawab dalam masyarakat.
3.
Kemampuan memahami, menerima,
dan toleran terhadap budaya yang berbeda.
4.
Kapasitas berpikir
secara kritis dan sistemik.
5.
Kemauan untuk
menyelesaikan konflik dengan menghindari keberingasan.
6.
Kemauan untuk merubah
gaya hidup dan kebiasaan konsumtif
7.
Memiliki sensitivitas
untuk membela hak-hak azasi manusia (seperti hakhak perempuan, dan hak-hak kaum
minoritas).
8.
Kemauan dan kemampuan berpartisipasi
dalam kehidupan politik pada tingkat lokal, nasional, dan internasional.
2.2. Seribu Satu Suku Bangsa
Bangsa Indonesia yang
hidup menyebar pada ribuan pulau-pulau yang terangkai dalam satu gugusan
memiliki corak identitas, pola tingkah laku, unsur-unsur budaya yang beragam
berdasarkan daerah kebudayaan tertentu. Aneka ragam dan corak kebudayaan yang
ada pada setiap daerah di Indonesia sekaligus mencerminkan pula aneka ragam
suku bangsa. Mereka hidup dengan pola dan caranya sendiri-sendiri, sehingga
dapat disaksikan dan dihayati sebagai suatu kesatuan yang padu dan harmonis.
Dalam sebuah
masyarakat bangsa yang memiliki berbagai keragaman seharusnya dikembangkan
model pendidikan yang mendukung eksistnsi keragaman tersebut. Dalam pendidikan
seperti itu, Guru harus membina siswa agar bisa memiliki kebiasaan hidup yang
harmonis, bersahabat, dan akrab sesama teman. Konsep sosialisasi pendidikan yang
dapat diterapkan pada pendidikan diantaranya konsep proses sosial, yaitu suatu
cara berhubungan antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan kelompok
yang menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Dari hubungan ini diharapkan mereka
semakin kenal, semakin akrab, lebih mudah bergaul, lebih percaya pada pihak
lain, dsb. Kesemuanya ini dapat dipahami sebagai adab manusia.
Proses sosialisasi
dimulai dari interaksi social dengan perilaku imitasi, sugesti, identifikasi,
dan simpati (Pidarta, 1997:147). Interaksi sosial akan terjadi apabila memenuhi
dua syarat: kontak sosial dan komunikasi. Setiap masyarakat saling berinteraksi
satu dengan lainnya, dan saling beradaptasi pada lingkungan secara totalitas.
Lingkungan ini mencakup lembaga sosiopolitik masyarakat dan elemen organik
lainnya. Dari hasil interaksi sosial diharapkan tidak ada strata social
antaretnik, dan seharusnya ada pembentukan peradaban atau akultrasi antaretnik
(Wakhinuddin, 2001). Suku bangsa dalam konsep sosiologis adalah identik dengan
etnik, yang menurut Hasan dan Salladin (1999), adalah sekumpulan individu dalam
masyarakat yang merasa sebagai satu kelompok karena kesamaan identitas,
nilai-nilai sosial yang dijunjung bersama, pola tingkah laku yang sama, dan
unsur-unsur budaya lainnya yang sama pula. Kesamaan itu membentuk komunitas
yang hidup beragam di Indonesia.
Di Indonesia, suku
bangsa dapat pula dikonsepsikan sebagai perpaduan etnik (seperti pengertian di
atas) dan ras yang juga oleh Hasan dan Salladin (1999) diartikan sebagai
sekelompok orang yang memiliki kesamaan dalam sejumlah unsur biologis, atau
populasi yang memiliki kesamaan unsur-unsur fisikal yang khas yang disebabkan
oleh keturunan (genetik).
Pada satu sisi,
kebanggaan terhadap bentuk dan corak kebudayaan sendiri pada setiap etnis,
diperlukan untuk tetap berupaya melestarikannya. Pada sisi yang lain, jika hal
itu berlebihan dan pada batasbatas yang dapat menafikan corak dan bentuk budaya
lain, maka hal itu dapat membahayakan. Oleh karena itu, kesadaran akan
eksistensi budaya pada suku bangsa yang lain dan mengapresiasinya merupakan hal
positif yang perlu dikembangkan. Yang unik di Indonesia ialah bahwa ribuan
corak dan bentuk budaya yang melekat pada setiap suku bangsa tidak menyebabkan
timbulnya etnosentrisme berlebihan yang membahayakan itu.
Sejarah Kebangsaan
Indonesia menggambarkan kerukunan dan keharmonisan hidup dalam pelangi
kebudayaan yang beribu corak dan bentuknya. Hampir tidak dijumpai dalam
rangkaian peristiwa sejarah bangsa Indonesia, konflik antar suku bangsa yang
berakibat perpecahan. Ribuan suku bangsa hidup dalam kebersamaan sepanjang
sejarahnya. Hal ini mencerminkan keunikan yang khas dalam hidup masyarakat
bangsa Indonesia. Keunikan dalam keberagaman, keragaman dalam kebersamaan, dan
kebersamaan dalam keindahan pelangi kehidupan masyarakat bangsa Indonesia.
Aneka ragam Budaya, Tuhan
menciptakan berbagai jenis makhluk yang hidup di muka bumi ini. Jika
diklasifikasi, maka akan terdapat empat tingkatan kehidupan makhluk Allah SWT
di dunia ini, yaitu:
1.
makhluk anorganis
(benda) yang dipandang sebagai makhluk yang memiliki tingkat kehidupan paling
rendah,
2.
makhluk tumbuh-tumbuhan, dipandang lebih
tinggi, sebab tumbuhtumbuhan memiliki ciri-ciri kehidupan yang jelas, seperti
berkembang, bernafas, membutuhkan makanan,
3.
Binatang, makhluk yang
dianggap lebih tinggi setingkat dari tumbuh-tumbuhan. Di samping bernafas, dan
berkembang, binatang juga memiliki instink, bahkan seringkali instink binatang
lebih tajam dari makhluk lain.
4.
Manusia, sebagai makhluk
Tuhan yang memiliki tingkat paling tinggi (Ditjen Dikdasmen, 1999).
Manusia disebut
makhluk dengan kualitas kehidupan paling tinggi karena di samping memiliki ciri
kehidupan yang sudah dimiliki tumbuhan-tumbuhan dan hewan, manusia memiliki
banyak kelebihan yang lain yang tidak dimiliki dunia tumbuhan maupun hewan. Kelebihan-kelebihan
itu di antaranya:
1.
Memiliki kemampuan
berpikir,
2.
Memiliki kemampuan
berfantasi, menghayati,
3.
Dengan itu semua maka manusia
mampu merencanakan masa depan yang lebih baik bagi dirinya.
Manusia mampu
mengembangkan kesenian, ilmu dan teknologi yang memungkinkan memiliki
kehidupan yang selalu meningkat ke arah
yang lebih baik. Manusia dengan kemampuan akal pikirannya selalu ingin
mengetahui, ingin mencari, mencoba, menyelidiki, menemukan hal-hal baru,
berhubungan dengan kebutuhannya. Dengan panca inderanya, manusiapun mampu
mengembangkan rasa keindahan, kehalusan budi, melahirkan karya-karya seni yang
indah. Tegasnya, manusia adalah makhluk berkebudayaan.
Kekuatan Hubungan
(KH) dalam bentuk saling ketergantungan akan meningkatkan adaptasi antar etnik,
dan dapat menimbulkan peradaban baru. Peradaban itu adalah kebudayaan yang
sudah maju. Pendidikan pada suatu tempat adalah bagian dari bagian komunitas
masyarakat setempat. Pendidkan adalah proses membuat orang kemasukan budaya dan
orang menjadi beradab. Ada anggapan bahwa pendidikan adalah kunci bagi
pemecahan masalah-masalah sosial, dengan mendidik anak-anak agar tidak
melakukan tindakan criminal. Karena itu, gerakan pendidikan progresif
emnyerukan rekonstruksi masyarakat lewat pendidikan.
Rekonstruksi
berarti reformasi budaya, dengan melalui pendidikan, reformasi (terutama
reformasi pendidikan budi pekerti) dapat dijalankan, reformasi moralitas
(agama), reformasi kebudayaan (keindonesiaan), reformasi nasionalisme (NKRI).
Setiap orang
atau kelompok orang dalam suatu kawasan geografis tertentu yang disebut sebagai
masyarakat, akan mendapatkan dan menguasai kebudayaan melaui proses belajar.
Belajar bias terjadi dalam bentuk persinggungan dalam komunikasi dan interaksi
antar angora kelompok dalam masyarakat, atau antar kelompok dalam masyarakat
yang lebih luas, dalam suatu kawasan daerah kebudayaan tertentu (Wakhinuddin,
2001)
Daerah
kebudayaan (culture area) adalah
suatu wilayah geografis yang penduduknya terkelompok dalam unsur-unsur dan
kompleks-kompleks kebudayaan tertentu yang sama (Hasan dan Salladin, 1996: 97).
Proses persinggungan, komunikasi, dan interkasi antar pihak dalam daerah
kebudayaan itu akan melahirkan bentuk dan sifat kebudayaan sendiri yang khas.
Oleh karena itu, karakteristik suatu kelompok masyarakat akan ikut menentukan
corak dan bentuk kebudayaan masyarakat tersebut.
Tak heran jika
didapati bentuk kebudayaan yang khas masyarakat nelayan di daerah-daerah
pesisir pantai dalam bentuk trait (unsur kebudayaan) yang khas pula seperti
cara mereka membuat tempat tinggal, menu makanan dan lain sebagainya.
Demikian juga di
daerah kebudayaan lain, seperti daerah pegunungan, dataran tinggi, daerah dekat
hutan dan sebaginya. Itulah yang terjadi di Indonesia, sebuah negara dan bangsa
yang terdiri dari ribuan daerah kebudayaan. Setiap daerah kebudayaan memiliki
bentuk dan sifat kebudayaan sendiri-sendiri, dalam bentuk trait (unsur
kebudayaan). Hamparan bentuk kebudayaan dengan aneka ragamnya itu menyebar di
sepanjang barisan puluhan ribu pulau bagaikan untaian ratna mutu manikam. Lihat
saja umpamanya, bagaimana masyarakat Aceh menarikan tari Seudati, masyarakat
Minang memainkan tari piring, masyarakat Tapanuli dengan tari Tortornya,
masyarakat Jambi dengan tari Mak Inangnya, masyarakat Sumatera Selatan dengan
tarian Gending Sriwijaya, Jawa Barat dengan Jaipongnya, Jawa Tengah dengan
Serimpinya, dan ribuan bentuk tarian lain yang berkembang dan tersebar di
seantero Indonesia.
Keaneka ragaman
bentu budaya itu belum lagi jika dilihat dari unsurnya yang lain, seperti rumah
Gadang di Minangkabau, Batik Jambi, Tenun Songket dan kain Tapis dari Sumatera
Selatan dan Lampung, Kerajinan Rotan dari Cirebon, ukiran Jepara tenun Ikat NTT
dan lain sebagainya. Semuanya itu merupakan kekayaan khasanah kebudayaan bangsa
Indonesia. Kekayaan budaya ini merupakan asset yang tak ternilai tinggi
harganya.
Kebudayaan
Daerah Sebagai Unsur Kebudayaan Nasional
Sampai saat ini
masih sukar didapat data yang akurat yang dapat menunjukkan berapa jumlah
sebenarnya suku bangsa di Indonesia. Pada umumnya, disebut dalam beberapa
sumber dalam bentuk data perkiraan. Ada yang benyebut sebanyak 500 suku bangsa,
seperti yang diidentifikasi oleh Malalatoa (dalam Poerwanto, 2000) tapi ada
pula yang menyebut lebih dari itu.
Kesukaran
mendapatkan data tersebut, menurut Poerwanto (2000; 124) disebabkan oleh ruang
lingkup istilah dan konsep suku bangsa yang dapat mengembang atau menyempit,
tergantung subyeknya. Ia memberi contoh di pulau Flores misalnya, terdapat
empat suku bangsa yang berbeda bahasa dan adat istiadatnya.
Keempatnya
adalah orang Manggarai,…., Ende-Lio dan Sikka. Jika mereka berada di luar
Flores, maka mereka dipandang oleh suku bangsa lainnya sebagai satu suku
bangsa, yaitu Flores. Kesulitan mengidentifikasi semua suku bangsa yang ada di
Indonesia sama sulitnya dengan mengidentifikasi jumlah ragam budaya mereka.
Tiga puluh empat provinsi yang ada di Indonesia sekarang ini (mungkin akan
bertambah seiring dengan pengembangan wilayah), masing-masing memiliki lebih
dari satu bahkan ada yang puluhan ragam budaya. Keragaman budaya itu terwujud
dalam bentuk tarian-tarian, nyanyian, senjata adat, bahasa yng digunakan, tata
cara perkawinan, dan lain-lainnya.
Pada dasarnya,
budaya masyarakat Indonesia adalah budaya serumpun, yang apabila digali
kesamaannya maka akan dapat membentuk budaya nasional. Maka budaya daerah pada
dasarnya merupakan bagian dari budaya nasional tersebut.
2.3. Rukun dalam Kehidupan Beragama
Agama mengajarkan umatnya bagaimana hidup bahagia, antara lain
melalui hidup yang rukun dalam masyarakat. Tetapi juga merupakan kenyataan yang
tak dapat dipungkiri bahwa sering kali terdapat pertengkaran antar kelompok
dalam masyarakat berlatar belakang sentiment agama. Selain mengajarkan hal-hal
yang sama seperti mengajarkan kebaikan, menghormati kelompok lain dan lain
sebagainya, tetapi antar berbagai agama itu juga terdapat unsur-unsur yang
berbeda. Maka perbedaan antar masyarakat
akibat perbedaan agama yang peluk adalah bentuk kenyataan. Perbedaan-perbedaan
itu jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi menimbulkan konflik di antara
kelompok. Sebaliknya, jika perbedaan-perbedaan itu dapat dikendalikan dengan
baik, maka nilai-nilai agama dapat berpotensi mempersatukan berbagai kelompok
dalam masyarakat. Dengan demikian, membina persatuan menghadap berbagai faktir
keragaman dan perbedaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat harus dikelola
dengan arif dan bijaksana. Sebagian factor penting itu ialah factor kerukunan
dan factor beragama.
Menurut Koentjaraningrat (dalam Poerwanto, 2000) terdapat empat
masalah pokok yang dihadapi dalam mempersatukan bangsa Indonesia, yaitu: (1)
mempersatukan aneka-warna bangsa, (2) hubungan antar beragama, (3) hubungan
mayoritas minoritas, dan (4) integrasi kebudayaan di Irian Jaya dan Timor-Timur
dengan kebudayaan Indonesia.
Kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia haruslah dipahami dari
berbagai sisi. Pada satu sisi kemajemukan merupakan kekayaan keragaman yang
membanggakan, tapi pada sisi yang lain kemajemukan juga berpotensi konflik.
Faktor yang cukup dominan dalam kemajemukan yang berperan memunculkan konflik
adalah kehidupan yang diwarnai dengan sentiment agama. Karena itu, berbagai
factor kemajemukan dalam kehidupan beragama hendaknya dikelola secara baik agar
potensi konflik dapat dikendalikan, dan potensi persatuan dapat ditumbuhkan.
Menggali nilai-nilai keagamaan sebanyak mungkin dan meminimalkan potensi
konflik sebisa mungkin. Jadikan agama sebagai sumber inspirasi bagi terwujudnya
persatuan dan kesatuan bangsa.
2.4. Hamparan Zamrud Khatulistiwa
Indonesia Zamrud Khatulistiwa mempunyai makna, bahwa Indonesia yang
terletak di khatulistiwa mempunyai pesona keindahan yang luar biasa. Hamparan
itu dimulai dari Sabang sampai Merauke. Keindahan itu menyangkut keindahan
dalam arti luas, keindahan dalam estetika, dan keindahan dalam arti terbatas.
Keindahan dalam arti uas menurut Plato adalah perwatakan dan hukum
yang indah. Sedangkan Aristoteles merumuskan keindahan adalah suatu yang baik
dan menyenangkan.
Orang
Yunani menyebut “Symetria” artinya seni arsitektur dan harmonia. Keindahan Indonesia menyangkut pengertian
secara keseluruhan yakni seni, moral, dan intelektual yang mampu mewujudkan
sejumlah kualitas pokok dalam kesatuan atau uniti, keseimbangan, dan
perbedaaan. Keindahan alam berupa
gunung-gunung, laut, pantai, gua-gua, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan dan
lainnya. Keindahan estetika menyangkut pengalaman estetik seseorang dalam
hubungannya dengan suatu yang diserapnya.
Keindahan
dalam arti terbatas mempunyai arti yang lebih disempitkan melalui penglihatan,
yakni keindahan bentuk dan warna. Keindahan seni menyangkut berbagai macam seni
tari, seni lukis, seni suara, dan kreativitas lainnya. Keindahan seni sering
terpadu dengan keindahan alam, misalnya kesenian Bali, Jawa, Melayu, Banjar,
Bugis dan sebagainbya. Keindahan moral
menyangkut nilai-nilai baik ekstrinsik maupun intrinsik.
Keindahan
intelektual menyangkut pandangan hidup, filsafat, kejiwaan, dan sebagainya.
Dalam pandangan hidup terdiri atsa cita-cita, kebijakan dan sikap hidup.
Keindahan
nusantara adalah keindahan panorama alamnya, keindahan budayanya, keindahan
moral dalam budayanya, keindahan secara keseluruhan itu bersumber dan berpegang
teguh pada nilai-nilai Pancasila yang sudah mengurat akar dan mendarah daging.
Dalam hal ini disebut keindahan psikis.
Keindahan
bumi Idonesia masih ditambah lagi dengan kesuburan Indonesia. Koes Plus
mengatakan Tongkat kayu Jadi Tanaman. Berbagai flora dan fauna melengkapi
Indonesia dengan keindahan yang hakiki. Namun sumber daya alam itu belum secara
maksimal dieksplorasi karena keterbatsan sumber daya manusia atau etos kerja
warganya. Keindahan alam yang lain juga letak wilayah indonesia dalam silang
dunia, diantara dua lautan mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan
kejiwaan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia masih sebatas memuji-muiji keelokan
wilayah negaranya.
Penerapan
konsep-konsep geolitik Indonesia belum mampu mengatasi permasalahan bangsa. Oleh karena itu,
Indonesia tidak mau diibaratkan ayam
mati dalam lumbung padi. Kalau hal itu terjadi maka hanya suatu penyebabnya
tidak lain adalah faktor ketololan saja. Berbagai contoh dapat dikemukakan
misalnya banyak masyarakat menderita busung lapar padahal dilingkungannya
adalah tanah yang subur. Oleh karena itu, ungkapan Indonesia ibarat Zamrud
khatulistiwa tidak hanya dalam kata-kata puji tetapi lebih dari itu.
2.5. Pelangi Bahasa Nusantara
Pada
tahun 1884, Brands dalam bukunya bijidrage
toot de Vergelijikende Klankleer der Westersche Afdeling van de Maleisch
Polynesische taalfmilie, mengatakan bahwa bangsa Indosenia pada zaman dahulu
berbahsa satu. Alasannya bahwa perbandingan sekalian bahsa yang ada pada zaman
sekarang masih dipakai oleh bangsa yang menmpati pulau itu.
Pada
tahun 1889, II. Kern menruskan penelitian Brandes menjelaskan bahwa tahun asal
bangsa itu adalah Tjempa: yakni Annam sekarang. Ketika bangsa Indonesia masih
berkumoul di tanah Tjampa, wilayah nusantara masih ditempati oleh bangsa yanfg
berkulit hitam berambut keriting dan sekarang masih banyak di Papua dan
Austrtalia.
Pada
suatu masa kira-kira tahun 1500 SM Tjempa terdesak oleh bangsa lain dari Asia
Tengah maka bangsa Indonesia turun ke Kamboja, Formosa, Philipina. Adapun yang
berada di Phlipina terus menyebar ke Minahasa dan pulau kecil di sekitarnya.
Setelah mereka menempati pulau dan hidup terpisah lambat laun bahsa merekapun
menjadi berlain pula menjadikan bangsa Aceh dengan bahsa dan tulisan Aceh,
Bangsa Batak dengan bahsa dan tulisan Batak. Namun setelah bangsa Idonesia
tersebar luas pulau tadi berkembang sesuai daerah masing-masing.
Hal ini
wajar karena hubungan dan transportasi dan komunikasi diantara meraka dapat
dikatakan belum diperlukan juga. Semenjak itulah terbentuk bangsa lain : Dayak,
Minangkabau, Banjar, Batak, Melayu, Sunda, Jawa dan Papua. Sejarah agak jelas
setelah ditemkan prasati Kutai yang berbahsa sanskertadan tulisan Pallawa.sejak
itulah prasasti-prasasti dengan bahasa Sanskerta dan tulisan Pallawa bertebaran
di bumi Nusantara antaralain dalam prasasti Tjiaruteum, Tugu, Dakawu, dan
lainnya. Dalam perkembangan prasasti berikutnya
mulai banyak bahasa daerah misalnya prasasti Sriwijaya, Jawa Timur
(Kalegen), dan sebagainya. Perihal perluasan bahasa-bahasa
tersebut, Dr. Schmidt dalam bukunya
Die Spracehfamilien und Sprachenkreise Der Erde and terbitan 1996 mengatakan
bahwa bahasa Austris (selatan) bercabang menjadi dua perluasan yaitu bahasa
Austro Asia dan Austro Nesia. Bahasa Austroasia menurunkan
bahasa Semang, Skai, Palaun, Mon, Khmer, dan sebagainya. Bahasa
Austronesia meliputi Indonesia dan Oceania.Perluasan Indonesia menurunkan
bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Madura, Tagalok di kawasan barat,
sedangkan bahasa Solor, Roti, Timor, Flores, Kupang, dan Papua di kawasan
timur. Sedangkan perluasan Oceania menurunkan bahasa Melanesia dan
Polynesia. Kontak bahasa Indonesia dan bahasa India yang secara intensif mulai
abad ke-4 Masehi, memberi warna khusus dalam perkembangan Bahasa maupun
tulisan di Indonesia (Nusantara). Tulisan (huruf) dari India yang
terkenal dengan tulis Pallawa dan Pranagiri yang ditunjang dengan Bahasa Sanskerta
maupun Prakerta lambat laun secara bertahap mengalami perubahan sesuai
dengan perkembangan budaya daerah masing-masing. Sehingga tercipta huruf
(alphabet) masing-masing tulisan local. Oleh karena itu tercipta huruf Jawa,
Lampung, Batak, Banjar, Kerinci, dan lain-lain. Hal ini juga terjadi pada
bahasa lisan dalam penggunaan prasasti maupun bahasa pergaulan sekarang ini
dengan ditandai masuknya berbagai kosa kata dari hubungan antardaerah maupun
hubungan antarbangsa di dunia. Karena hubungan bangsa Indonesia dengan India
sangat erat, maka bahasabahasa India juga banyak masuk dalam perbendaharaan
bahasa-bahasa Nusantara, terutama di Jawa. Di India, sejak lama berkembang
bahasa Sanskerta, Hindi, Benggali, Bihari, Orya, Sindhi, Gujarat, dan
sebagainya. Sedangkan bahasa Dravida mempunyai bagian-bagian antara lain bahasa
Telugu, Tamil, Malayalam, Kanadi, Brahui, dan sebagainya. Dalam hal ini bahasa
Tamil, Sansekerta, banyak pengaruh di Indonesia. Dalam bentuk huruf (carakan),
pertumbuhan tulisan-tulisan di nusantara dapat diklasifikasikan yang
masingmasing banyak kemiripannya antara lain tipe Holle, Kellian, van Hin
Lopen, dan Pitono. Dari keempat wikan bahasa itu dapat diklasifikasikan menjadi
tipe Kulai, Canggal, Pereng, Holle, Kellian, Bali, Jawa, dan Dewanagari. Dari
masing-masing tipe carakan itu, banyak sekali kemiripan bentuknya. Demikianlah
pelangi bahasa Nusantara. Keindahan pelangi bahasa Nusantara, mudah-mudahan
dapat dilestarikan sesuai dengan pasal 36 dan pasal 32 ayat 2, yaitu:
Ø Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia.
Ø Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah
sebagai kekayaan budaya Nasional.
Perlu juga
diingat bahwa dengan Bahasa kita berbudaya, dengan bahasa kita bernegara, dan
dengan bahasa kita satu dan bersatu.
Persatuan dan kesatuan atau integrase dapat diartikan sebagai
proses penyatuan kelompok-kelompok yang berbeda secara sosial dan cultural ke
dalam satu kesatuan yang bersifat teritori dengan perwujudan suatu identitas
diri (nasional). Namun pengertian persatuan dan kesatuan menitik beratkan
kepada masalah perilaku yaitu “perilaku
integrative”. Perilaku integrative adalah manakala kemampuan anggotaanggota
suatu masyarakat untuk mengorganisasikan diri mereka dalam usaha untuk
menciptakan tujuan bersama (Greetz, 1973). Sebenarnya masalah integrasi atau
integrasi nasional sudah merupakan pengalaman bangsa dengan pahit getirnya
bahkan harus dilalui dengan lembaran hutan sejarah bangsa. Pengalaman bangsa
dalam mewujudkan integrasi nasional dapat dibagi ke dalam beberapa periode
antara lain: periode 1908-1928, periode 1928-1945, periode1945-1959, periode
1959-1985, dan periode 1985 sampai sekarang. Pada tanggal 28 Mei 1908 berdiri organisasi
yang disebut Budi Utomo. Lama kelamaan organisasi yang bersifat netral itu
bermuatan politik yakni mewujudkan persatuan dan kesatuan karena persamaan
nasib. Tidak lama berdirilah Sarekat islam, PNI, dan di berbagai daerah berdiri
yong Jawa, yong Batak, yong Selebes, yong Ambon, dan sebagainya. Pada tahun
1918 Hindia Belanda membuka sebuah lembaga kenegaraan yang disebut Volkstraad. Lembaga
ini dimaksudkan sebagai lembaga yang memberi peluang kepada tokoh-tokoh
masyarakat di dalamnya. Pada waktu menjelang Volkstraad terjadilah polemik
tentang nasionalisme antara Cipto Mangunkusumo dengan Sutatmo Suryokusumo. Sutatmo
berasumsi bahwa nasionalisme Jawa paling sesuai untuk dikembangkan oleh bangsa
Hindia (Indonesia), sedangkan menurut Cipto, nasionalisme yang dikembangkan
adalah nasionalisme Hindia yang bercirikan kemaritiman dan kemajemukan. Polemik
tanpa ujung itu punya produk Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yaitu pengakuan satu
tanah air, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa nasional bahasaIndonesia.
Pada periode 1928-1945 adalah tahap kesadaran persatuan dan kesatuan mencapai
puncak tertinggi. Berbagai manifestasi dari persatuan dan kesatuan bangsa
diketengahkan dan didemonstrasikan. Oleh karena itu, jiwa kebangsaan dan
kenasionalan itu diwujudkan pada 31 Desember 1930 yaitu dengan terbentuknya
Indonesia Muda yang merupakan wadah dari semua pergerakan di Nusantara.
Selanjutnya tahun 1938 terjadi polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Ali
Syahbana dengan Purbocaroko/Sanusi Pane antara konsep Barat dan konsep Timur.
Pada masa penjajahan Jepang, proses pembentukan persatuan dan kesatuan berjalan
terus dan titik klimaknya pada peristiwa Rengas Dengklok.
Di pihak lain kita mengenal perjuangan BPUPKI dan PPKI. Di sinilah
muncul istilah golongan tua dan golongan muda. Momentum integrasi juga terwujud
adanya perubahan Piagam Jakarta atau yang terkenal perubahan 7 kata. Hal ini
adalah pencerminan jiwa besar dan integrasi bangsa yang ditunjukkan oleh umat
Islam.
Pada periode 1945-1959 adalah momentum Proklamasi dan pertahanan
kemerdekaan. Kita mengenal momentum Linggarjati, Renville, dan Room Royen. Kita
mengenal konferensi Malino oleh Van Mook yang hasilnya adalah berdirinya negara
boneka. Negara RI diserang dari berbagai penjuru. Iklim politik pada waktu itu
tidak menunjang yaitu situasi ekonomi yang buruk dan tugas menyelesaikan UUD
baru sebagai pengganti UUDS. Negara menghadapi disintegrasi. Maka dalam keadaan
terpaksa Bung Karno mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1969 dan kembali ke UUD
1945. Inilah momentum bangsa Indonesia menemukan kembali jalan integrasi
nasional.
Pada periode 1959-1985, kita kenal dengan periode demokrasi
terpimpin, berbagai partai politik
mengembangkan ideologi sekulernya. Untuk mewujudkan rujuk nasional maka
dibentuk NASAKOM dalam wadah Front Nasional. Konsep inilah yang menyebabkan
disintegrasi nasional dan muncullah pemberontakan G30 S/PKI. Suatu momentum
bersejarah yang merupakan pondasi integrasi bangsa adalah diberlakukannya 5
Undangundang dalam bidang politik yang berasas dari pengembangan nilai dasar,
nilai instrumental, dan nilai praksis. Dalam perkembangan asas sentralisasi
akan bergeser kepada asas desentralisasi dan deskonsentrasi.
Periode 1985 sampai sekarang adalah periode yang ditandai dengan
era globalisasi yang berakar dari perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi. Asumsi dasar bangsa Indonesia memandang globalisasi harus dengan
kedua belah mara, artinya mengambil yang
positif dan membuang yang negatif. Maka perlu kewaspadaan nasional. Antara
globalisasi, reformasi nasional, dan ketahanan nasional harus merupakan garis
lurus.
Pemahaman sebagai penunjang adalah Wawasan Nusantara yang
merupakan perwujudan dalam suatu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya dan
Hankam. Berkaitan dengan kondisi geografis maka komunikasi nasional harus
dipelihara dengan baik, kesenjangan nasional harus teratasi, dan pengelolaan
kondisi kemajemukan bangsa yang terhindar dari unsur “saraisme”.
Dalam
Pendidikan, keluarga memiliki peran yang amat besar dalam menjalankan fungsi
sosialisasi bagi anggotanya. Keunggulan pendidikan multi kultur untuk membangun
semangat kebersamaan mendapat dukungan yang kuat dari suasana hidup keluarga.
Hal itu terjadi mengingat dalam keluarga sedikitnya berkembang tiga tipe dasar
nilai-nilai, yang merupakan bahan baku bagi membangun hidup kebersamaan, yaitu:
(1) nilai-nilai kepribadian (personal values), (2) nilai-nilai moral (moral
values), dan (3) nilai-nilai sosial (sosial values).
Nilai
hidup kebersamaan itu penting mengingat bangsa Indonesia hidup menyebar pada
ribuan pulau. Gugusan pulau itu terangkai dalam satu gugusan yang memiliki
corak identitas, pola tingkah laku, unsur-unsur budaya yang beragam berdasarkan
daerah kebudayaan tertentu. Aneka ragam dan corak itu mencakup kebudayaan, adat
istiadat, dan bahasan yang ada pada setiap daerah di Indonesia sekaligus
mencerminkan pula aneka ragam suku bangsa. Mereka hidup dengan pola dan caranya
sendiri-sendiri, sehingga dapat disaksikan dan dihayati sebagai suatu kesatuan
yang padu dan harmonis.
Keragaman
tersebut harus dikembangkan secara dinamis untuk memupuk persatuan dan kesatuan
bangsa, yaitu proses penyatuan kelompok-kelompok yang berbeda secara sosial dan
cultural ke dalam satu kesatuan yang bersifat teritori dengan perwujudan suatu
identitas diri (nasional). Persatuan dan kesatuan itu juga menitik beratkan
kepada “perilaku integrative”, yaitu kemampuan anggotaanggota suatu masyarakat
untuk mengorganisasikan diri mereka dalam usaha untuk menciptakan tujuan
bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
Tanpa Nama. Tanpa Tahun. Kapita
Selekta Pembelajaran di Sekolah Dasar. Banjarmasin: UNLAM
Post a Comment