Sejarah Literasi di Indonesia
Table of Contents
Di masa Hindu dan Budha sudah dikenal bahasa Sansekerta dan aksara Pallawa, di era Islam berkembang bahasa Arab dengan aksara Arab-Jawa dan Arab-Melayu. Bahkan berdasarkan penuturan beberapa arkeolog, literasi (dalam artian literasi gambar) telah ada pada masa pra sejarah ribuan tahun yang lampau.
Berdasarkan keterangan Indonesianis dari Universitas Hamburg, Jan van der Putten memaparkan tentang tradisi menulis. Dia mengatakan, Indonesia memiliki tradisi lisan yang kaya, namun tradisi menulis juga sudah muncul sejak berabad-abad silam. Menurutnya, karena sudah memiliki kekayaan tradisi lisan, tradisi menulis dipelihara dan digunakan oleh kalangan tertentu atau untuk tujuan khusus.
Penulisan untuk penyebaran agama merupakan salah satunya. Putten menjelaskan kekhasan tradisi menulis yang berbeda-beda antara tempat satu dengan tempat yang lain di Indonesia. Manuskrip kuno di Jawa, misalnya, merupakan perpaduan tulisan dan gambar di daun lontar dan daun palem, yang terbatas dilakukan oleh anggota kerajaan di Jawa.
Berbeda dengan tradisi menulis di Sumatera Selatan yang banyak berupa puisi dan surat cinta, disebabkan hubungan pria dan wanita di sana dahulu sangat diatur ketat (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2015). Ditinjau dari perspektif ini maka masyarakat nusantara dan bangsa Indonesia secara empirik tidak dapat dipungkiri telah tumbuh dan berkembang literasinya (Suprajogo, 2020).
Literasi pada mulanya lebih diartikan sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf ataupun bisa membaca. Sehingga pada fase-fase awal, literasi secara umum selalu diidentikkan dengan kemampuan membaca. Dalam perkembangan berikutnya, dimaksudkan literasi adalah suatu kemampuan untuk membaca dan menulis. Literasi ini plus kemampuan menghitung sering diistilahkan sebagai literasi dasar (basic literacy).
Literasi pada mulanya lebih diartikan sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf ataupun bisa membaca. Sehingga pada fase-fase awal, literasi secara umum selalu diidentikkan dengan kemampuan membaca. Dalam perkembangan berikutnya, dimaksudkan literasi adalah suatu kemampuan untuk membaca dan menulis. Literasi ini plus kemampuan menghitung sering diistilahkan sebagai literasi dasar (basic literacy).
Seiring dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, apa lagi di era digital saat ini, maka konsep dan definisi serta pemaknaan literasi kian kompleks dan variatif. Dari 6 (enam) macam literasi dasar yang diperkenalkan oleh World Economic Forum (WEF) hingga literasi untuk kesejahteraan (functional literacy dalam istilah UNESCO di tahun 1965). Dari pengertian literasi di tahun 1957, UNESCO menyebutkan bahwa seseorang dapat disebut literat apabila bisa memahami, baik dengan membaca dan menulis sebuah pernyataan sederhana yang singkat tentang kehidupannya sehari-hari hingga literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, mengkomunikasikan, dan menghitung, menggunakan materi cetak dan tertulis yang terkait dengan berbagai konteks (UNESCO, 2004, 2017).
Bahkan lebih jauh konsep literasi dalam perkembangannya adalah menekankan pada pemanfaatan teknologi dan informasi untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan sehari-hari dan meningkatkan kesejahteraan. Literasi melibatkan suatu rangkaian kesatuan pembelajaran dalam memampukan individu-individu untuk mencapai tujuan-tujuan mereka, mengembangkan pengetahuan dan potensi mereka, serta berpartisipasi secara penuh di dalam komunitas mereka dan masyarakat luas (UIS, UNESCO, 2018).
Berangkat dari variasi dan perkembangan konsep, definisi dan pemaknaan literasi setidaknya dari yang dikemukakan UNESCO dari tahun ke tahun, tentu ketika disebutkan bangsa tertentu adalah rendah literasinya maka harus dibatasi dan disepakati terlebih dahulu konsep, definisi dan makna literasi yang dimaksud. Penentuan konsep, definisi dan pemaknaan literasi ini sangat menentukan parameter, variabel dan indikator-indikator yang akan dipergunakan apabila untuk mengukur tingkat literasi misalnya. Paradigma dan perspektif yang lebih luas dalam mendefinisikan dan memaknai literasi ini membantu sekali dalam memahami secara proporsional sebuah masyarakat itu literat atau tidak. Terdapat 3 (tiga) fitur kunci terkait definisi literasi UNESCO seperti disebutkan oleh Montoya (2018) yaitu:
Berangkat dari variasi dan perkembangan konsep, definisi dan pemaknaan literasi setidaknya dari yang dikemukakan UNESCO dari tahun ke tahun, tentu ketika disebutkan bangsa tertentu adalah rendah literasinya maka harus dibatasi dan disepakati terlebih dahulu konsep, definisi dan makna literasi yang dimaksud. Penentuan konsep, definisi dan pemaknaan literasi ini sangat menentukan parameter, variabel dan indikator-indikator yang akan dipergunakan apabila untuk mengukur tingkat literasi misalnya. Paradigma dan perspektif yang lebih luas dalam mendefinisikan dan memaknai literasi ini membantu sekali dalam memahami secara proporsional sebuah masyarakat itu literat atau tidak. Terdapat 3 (tiga) fitur kunci terkait definisi literasi UNESCO seperti disebutkan oleh Montoya (2018) yaitu:
- Literasi adalah tentang penggunaan yang mana masyarakat menjadikannya sebagai sarana berkomunikasi dan berekspresi, melalui berbagai media;
- Literasi bersifat jamak, dipraktikkan dalam konteks tertentu untuk tujuan tertentu dan menggunakan bahasa tertentu;
- Literasi melibatkan kontinum pembelajaran yang diukur pada tingkat kemahiran yang berbeda.
Selanjutnya, Perkembangan Literasi di Indonesia
Post a Comment