Benarkah definisi dan konsep literasi hanya semata-mata kegiatan membaca aksara (huruf)?
Table of Contents
Secara etimologis, literasi berasal dari bahasa Latin, literatus/literatus, yang diartikan pada awal abad 15 dengan terdidik, orang yang belajar, seseorang yang mengetahui (aksara) huruf, sosok yang memiliki pengetahuan mengenai huruf. Dalam istilah Yunani, grammatikos, diambil dari bahasa Latin, littera/litera, artinya huruf alfabet.
Di akhir abad 18, istilah literasi secara khusus diartikan berkenalan dengan sastra. Pada tahun 1894, sebagai kata benda, literasi diartikan, seseorang yang bisa membaca dan menulis. Dari konsep dan definisi literasi awal ini tampaknya yang menimbulkan kesalahpahaman pandangan mengenai literasi. Street (1984) mengkritisi program kemelekaksaraan ketika program literasi, yang awalnya sering dimaknai sebagai upaya menjadikan seseorang dapat membaca alfabet atau aksara yang digunakan secara dominan dalam suatu negara dijadikan alat untuk mendefinisikan kemajuan dalam perspektif ideologis bangsa atau kelompok masyarakat yang dominan.
Mereka yang tidak dapat membaca aksara, kelompok ini akan mendapatkan label ‘tuna’, dan dengan demikian, terbelakang dan harus ‘dientaskan’ (Street dalam Dewayani, 2017; 12). Padahal dalam perkembangannya, literasi mengalami perluasan konsep, definisi, dan makna yang tidak dapat dilepaskan dari konteks yang ada.
Literasi membaca pada umumnya selalu diidentikkan dengan membaca teks berupa aksara (huruf). Membaca secara dominan selalu didefinisikan sebagai suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis melalui bahasa tulis (Hodgson dalam Tarigan, 1985). Juga membaca diartikan adalah suatu proses kegiatan mencocokkan huruf atau melafalkan lambang-lambang bahasa tulis.
Tepatkah membatasi literasi membaca semata-mata hanya pada teks tertulis atau berupa aksara (huruf)? Dalam ranah semiotika, teks adalah simbol yang memiliki makna dan berfungsi sebagai medium komunikasi. Teks bisa disimbolkan berupa aksara (huruf), angka dan gambar (visual). Maka membaca seharusnya tidak lagi hanya dimaknai sebagai aktivitas membaca teks dalam bentuk tertulis.
Dilacak dari pengalaman masa lampau, telah ditemukan lukisan gua berupa coretan, gambar, atau cap yang terdapat di dinding gua atau tebing yang dibuat oleh orang-orang purba sebagai medium untuk menyampaikan pesan atau catatan-catatan peristiwa. Bentuk visual yang terdapat di dinding-dinding gua merupakan alat komunikasi antar manusia pada zaman dahulu.
Untuk saat ini, teks visual dalam bentuk gambar, ilustrasi, material dari media massa seperti iklan, poster, infografis, juga presentasi visual dalam bentuk bagan, grafik, diagram dan peta maupun objek bergerak (Dewayani, 2017, 11).
Termasuk di dalam literasi membaca tentunya adalah membaca tanda-tanda alam sebagaimana yang sudah lazim dilakukan oleh manusia di manapun berada, masyarakat nusantara terdahulu hingga masih dipraktikkan oleh sebagian suku (etnis) tertentu seperti membaca bintang-bintang di langit untuk menentukan arah (navigasi), rasi Waluku (orion) dipakai para petani untuk menentukan masa tanam dan panen (bahasa Jawa, pranoto mongso), nelayan membaca iklim dan cuaca untuk menentukan melaut atau tidak, dan sebagainya.
Post a Comment